BAB I
A.
Pendahuluan
Fenomena membidahkan, takfir sesama
muslim beberapa tahun belakangan marak kembali terdengar lagi di kampus kita,
lewat media cetak berupa selebaran, bulletin mingguan maupun statement yang
dikeluarkan langsung oleh beberapa tokoh yang ditengarai memiliki ide dasar
‘memurnikan Islam’ dari pengaruh ‘non-islami’. Kelompok ini secara garis besar mempunyai
tujuan untuk ‘mengembalikan’ Islam sebagaimana wajah Islam yang dipraktekkan
pada masa-masa awal[1]. Pada dasarnya, hal ini—fenomena membidahkan, takfir
dsb, menurut hemat penulis—dapat terjadi dikarenakan pemahaman tentang konsep
dari prilaku keagamaan yang menumbuhkan pahala atau dosa[2]. Atas
dasar pemahaman pahala dan dosa dalam ranah aplikatif, kemudian manusia
berlomba berbuat kebaikan dengan kemampuan mereka dalam mengaplikasikankan
kebaikan yang bersifat normatif sebagaimana interpretasi mereka tentang
‘kebaikan normatif’ tersebut, tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan
reward (pahala) dari Allah SWT .
Pertanyaan yang datang kemudian adalah
amal baik seperti apa yang menumbuhkan pahala, tentu hal ini dapat dijawab dengan
bahasa umum ‘kembali’ pada al Qur’an, Sunnah Nabi, qoul sahabat, tabiin,
serta pendapat para ulama yang dipercaya sebagai ‘pewaris nabi’[3]. Dalam
makalah yang singkat ini, penulis mencoba untuk memaparkan tentang konsep pahala
dan beberapa pendapat tokoh tentangnya.
Term pahala
yang ditulis dalam sekian banyak hadis Nabi, seringkali—sedekat yang penulis
ketahui—diungkapkan dengan redaksi ajr (اجر ) atau tsawab (ثواب), sebagaimana dalam kutipan redaksi hadis
Nabi Saw yang akan penulis jadikan sebagai pokok pembahasan:
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر
من عمل بها
الخ. . .
B.
Rumusan
Masalah
Dari sekilas
pendahuluan yang dipaparkan diatas, setidaknya ada beberapa permasalahan yang
akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini
1. Apa pengertian pahala?
2. Bagaimana kualitas matan hadis yang membincang pahala?
3. Bagaimana pendapat tokoh tentang konsep pahala?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai
yang telah disebutkan dalam rumusan penulisan makalah, tujuan dari ditulisnya
makalah ini minimal dapat mendeskripsikan serta mengkonfirmasi atas beberapa
rumusan masalah diatas yakni: Pertama, dapat mendeskripsikan tentang makna dari
pahala, kedua dapat mengetahui kualitas hadis yang membincang tentang pahala
dan terakhir bisa mengetahui perbedaan maupun kesamaan yang terdapat dalam
konsep tentang pahala yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang penulis
ketahui.
D. Manfaat penulisan
Sebagaimana
gading yang tak luput dari retak, makalah ini pun tentu banyak mempunyai
kekurangan, namun terlepas dari itu, penulis berharap ada setetes manfaat yang
dapat diambil dari makalah yang sangat sederhana ini, minimal diantaranya
sebagai kajian hadis yang ikut mewarnai khazanah intelektual kampus IAIN Syekh
Nurjati Cirebon, khususnya dalam prodi tafsir hadis, kemudian menjadi
‘referensi tambahan’ bagi teman-teman mahasiswa dalam memahami konsep pahala,
dan terakhir sebagai bentuk tanggung jawab dari tugas terstruktur mata kuliah
Hadis Falsafi yang dibimbing oleh Ibu Hj. Umayah M.Ag.
BAB II
Pembahasan
(Konsep pahala dalam Hadis)
A.
Definisi Pahala
Pahala
dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti: ganjaran Tuhan atas perbuatan baik
manusia, atau disebut juga sebagai buah dari perbuatan baik[4].
Sedangkan dalam kamus bahasa Arab al Munjid, Pahala (ajr اجر ) berarti tsawab (ثواب)[5]. Tsawab
(ثواب) kemudian diartikan sebagai balasan dari
perbuatan baik yang telah dilakukan[6].
Dari definisi diatas—menurut hemat penulis—nampaknya pahala secara bahasa dan
istilah hampir mempunyai kesamaan, dalam arti satu term yang mencakup dua sudut
pandang (etimologis dan terminologis), pahala adalah sebuah istilah yang
diungkapkan sebagai ‘ganjaran’ dari Tuhan terhadap perbuatan baik yang telah
dilakukan oleh manusia. Namun penggunaannya dapat berarti menjadi upah/gaji
bila disandarkan terhadap manusia; bekerja untuk manusia (ajr اجر )[7].
Konsep tentang
pahala sendiri hampir disepakati oleh jumhur ‘ulama seperti definisi yang telah
diungkapkan diatas, walaupun terdapat perbedaan dari dua dua poros pemikiran;
tekstualis dan filosofis, terkait dengan pahala dan ‘pelaku kebaikan’ yang
berhak mendapatkan pahala, hal ini yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
B. Kajian Matan Hadis
Sebagaimana telah dipaparkan
diatas, bahwa ‘pahala’ dalam hadis sering kali ditulis dengan menggunakan
redaksi (ajr اجر ) atau tsawab (ثواب), namun pada pembahasan hadis ini kami hanya
memfokuskan kajian matan hadis dengan redaksi (ajr اجر ) sebagaimana hadis Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh Imam Ibn Majjah[8]
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ
بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَيُّوبَ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي
كَذَا وَكَذَا قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلَّا تَصَدَّقَ عَلَيْهِ
بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَنْ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلًا وَمِنْ
أُجُورِ مَنْ اسْتَنَّ بِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلًا وَمِنْ
أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
“Telah menceritakan kepada kami
Abdul Warits bin Abdush Shamad bin Abdul Warits berkata, telah menceritakan
kepadaku Bapakku berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Ayyub dari
Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah ia berkata; Seorang lelaki datang kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau memberi motifasi kepadanya
(untuk beramal dengan sesuatu). Seorang laki-laki di antara kami berkata;
"Aku mempunyai seperti ini dan seperti ini." Abu Hurairah berkata:
Maka tidak seorangpun yang ada di majlis tersebut kecuali ia bersedekah kepada
Nabi baik sedikit maupun banyak. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pun bersabda: "Barangsiapa membuat sunnah yang baik, kemudian
sunnah itu menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan pahala amalnya secara
sempurna berserta pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk, kemudian sunnah itu
menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya secara
sempurna beserta dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun"
Hadis serupa, juga disampaikan oleh
Imam Muslim, Imam at Tirmidzi, Imam an Nasai’ dengan redaksi:
...فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ
يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ[9]
حدثنا أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هرون أخبرنا المسعودي عن
عبد الملك بن عمير عن ابن جرير بن عبد الله عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله
عليه و سلم من سن سنة خير فاتبع عليها فله أجره ومثل أجور من اتبعه غير منقوص من
أجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار من اتبعه غير
منقوص من أوزارهم شيئا[10]
...قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن في الإسلام سنة
حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن سن في الإسلام
سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا[11]
Dari keempat redaksi hadis yang membincang
pahala (ajr اجر ) diatas, secara garis besar tidak ada yang yang
berbeda apabila dilihat dari segi esensi yang dikandungnya dan penggunaan term (اجر) sebagai ungkapan pahala bagi pelaku
kebaikan. Tetapi kemudian terdapat perbedaan penggunaan redaksi yang
disampaikan dalam keempat kitab hadis diatas terkait dengan redaksi ‘kebaikan’
dan ‘keburukan’, sebagaimana yang penulis sampaikan dibawah ini:
-
Imam Muslim dan Imam an Nasai’ menggunakan
redaksi hadis hasanah (حسنة ) dalam menyampaikan ‘kebaikan’ serta sayyiah (سيئة) untuk ‘keburukan’,
-
Imam Ibn Majjah menggunakan kata khair
(خير)
untuk ‘kebaikan’ dan sayyiah (سيئة) untuk ‘keburukan’.
-
Imam at Tirmidzi menggunakan kata khair (خير) untuk
‘kebaikan’ dan syarr (شر)
untuk ‘keburukan’.
Terkait dengan panjang dan pendeknya redaksi
hadis, hampir dari semua kitab hadis yang dirujuk mempunyai kesamaan kecuali
hadis milik Imam Ibn Majjah yang sedikit lebih panjang dibandingkan dengan yang
lainnya. Namun secara essensial tidak memiliki perbedaan apabila dilihat dari
segi ma’na nya.
Nampaknya hadis diatas—menurut hemat penulis—selain
membicarakan pahala yang dilipat gandakan,
juga membicarakan pentingnya berbuat baik (mengkonsep perbuatan baik),
karena dari setiap konsep kebaikan yang kita ‘tularkan’ terhadap orang lain dan
orang lain pun kemudian melakukan hal yang sama, maka kita ‘berhak’ mendapatkan
‘ganjaran/pahala’ sesuai dengan kebaikan yang pernah dikerjakan. Seperti yang
dikemukakan oleh Abu al Faraj Abd ar Rahman Ibn al Jauzy; ‘sunnah’
disini lebih jauh diartikan sebagai perbuatan baik (فعل خير) yang akan
mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT[12].
Dari sisi yang lain, dalam pemahaman penulis—hadis ini memiliki korelasi yang erat dengan salah
satu ayat al Qur’an dalam surat al Baqarah ayat 261:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ
حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Imam Abi al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas secara garis
besar menukil beberapa pendapat sahabat dan ulama mutaqoddimin
tentang orang-orang yang meng-infaq-kan
hartanya di jalan Allah SWT akan diberikan pahala yang berlipat ganda, dalam
hal ini beliau sendiri menambahkan tafsirannya bahwa ayat diatas bukan hanya
difokuskan pada infaq di jalan Allah SWT, melainkan mencakup segala
perbuatan baik yang dikerjakan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT,
sebagaimana dianalogikan dengan berkembangnya tanaman padi apabila ditanamkan
pada sebidang tanah yang subur[13]. Sampai pada titik ini, hadis yang
membicarakan tentang pahala yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini dapat
dikategorisasikan sebagai hadis sohih apabila dilihat dari segi matannya,
seperti diungkapkan oleh al Albani[14].
C. Pendapat Tokoh tentang Pahala
Sesingkat
pendekatan yang penulis lakukan berkenaan dengan konsep pahala, beberapa tokoh
dapat dikategorisasikan kedalam dua bagian, bagian pertama adalah tokoh yang pokok kajiannya
bertumpu pada teks, dimana konsep tentang pahala menurut kelompok ini adalah
reward yang diberikan Allah SWT berkenaan dengan prilaku baik yang dikerjakan
oleh manusia, kelompok ini biasanya didominasi oleh kalangan berbasis aliran
teologi dalam Islam, seperti Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah dsb[15],
tokoh-tokonya antara lain adalah Imam al Ghazali, Syeikh Murtadha
Muthahari, Sayid Husein Fadhlullah, Rasyid Ridha dll. Walaupun
terdapat kesamaan konsep pahala dari sebagian besar aliran teologi dalam Islam,
bukan berarti tidak terdapat perbedaan, perbedaan ini mengacu pada bentuk
kebaikan dan pelaku kebaikan yang berhak mendapatkan pahala. Kelompok kedua
adalah tokoh yang melandaskan pemikirannya pada akal, kelompok kedua ini didominasi
oleh para filosof dan beberapa pemikir kontemporer. Tokoh yang termasuk dalam
kelompok kedua beranggapan bahwa konsep pahala sebagai reward dari Allah SWT atas
prilaku baik yang dilakukan akan memenjarakan kita pada ‘harapan semu’ dan
hilangnya arti kebaikan itu sendiri, karena mengharapkan balasan dari prilaku
baik yang sudah dikerjakan. Lebih jauh dianggap sebagai bentuk ‘ketakutan’[16].
Tokoh-tokoh kelompok kedua ini antara lain, Al Hallaj dan Syekh Abdul Jalil.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pahala/ajr (اجر ) yang termaktub dalam hadis Nabi secara garis besar dapat diartikan
sebagai reward yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang menjalankan segala
bentuk kebaikan, pun ketika hadis diatas mempunyai kaitan yang cukup kuat
dengan ayat 261 dalam surat al Baqarah. Sebagaimana disampaikan oleh Ibn Katsir
dalam tafsirnya, bahwa ‘menginfaqkan harta di jalan Allah SWT’ tidak hanya terbatas
harta, berjihad dijalan Allah SWT serta melaksanakan ibadah haji, namun lebih
luas diartikan segala bentuk kebaikan yang dilakukan oleh manusia.
Redaksi hadis yang membicarakan tentang
pahala yang diambil dari beberapa kitab kanon hadis dinilai sohih, karena tidak
bertentangan dengan al Qur’an dan memiliki arti yang positif, yakni mengajak
manusia untuk berbuat baik, sebagaimana disampaikan oleh al Albani.
Berkenaan
dengan pendapat para tokoh tentang konsep pahala, dapat dibagi menjadi dua,
pertama adalah kelompok yang memberikan definisi pahala sebagai reward dari
Allah SWT atas kebaikan yang dilakukan oleh manusia, kelompok ini diisi aliran teologi
dalam Islam. Sedangkan kelompok kedua yang didominasi oleh para filusuf.
Kelompok ini ‘menolak’ konsep pahala jika penggunaanya hanya akan membawa
pelaku kebaikan pada kerangka berfikir ‘untung-rugi’ (baca: Materialistik)
dimana pahala hanya akan membawa kebaikan yang mereka lakukan bukan pada tujuan
yang sesungguhnya, kebaikan yang didasarkan pada rasa takut akan hukuman (punishment).
Wallahu A’alam bis Shawab
B. Daftar
Pustaka
Muhammad
Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar,
Pengalaman Mistik, Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti (Yogyakarta,
Narasi 2008)
Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam; sebuah pengantar
(Cirebon, STAIN Press TTP)
Sunan at
Tirmidzi Juz 5 hlm 43, al Maktabah as Syamilah
Imam Abi al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi dalam Tafsir Ibn Katsir (Beirut,
Dar al Fikr 2006)
Abu al Faraj Abd ar Rahman Ibn
al Jauzy, Kasyf al Masykul min
Hadis as Sohihain (Riyadh, Dar al Wathn 1997)
Imam Abi
al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi dalam Tafsir Ibn Katsir (Beirut, Dar al Fikr 2006)
Sohih Muslim Juz 3 Hlm 68, al Maktabah as Syamilah
Sunan at
Tirmidzi Juz 5 Hlm 43, al Maktabah as Syamilah
Sunan an Nasai Jus 5 Hlm 75, al Maktabah as Syamilah
Kitab 9 Imam Hadis, Lidwa Pusaka i-software
kamus al
Munawwir Arab-Indonesia
al Munjid (Beirut, dar al masyrq
1986)
KBBI Offline
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring ‘Luar Jaringan’) Versi 1.5
Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah;
menimbang jalan pikiran orang-orang yang bersikap keras dalam beragama (Tangerang,
Lentera Hati 2012)
Al-Ghazali, al-Mankhul fi
ta’liqat ilm al ushul, hal. 6, Pdf
[1] Menurut Prof.
Dr. Ali Jum’ah, generasi muslim awal disebut dengan salafiyah, term ini
digunakan untuk istilah tiga generasi awal ummat muslim, namun pada
perjalanannya mengalami ‘penyelewengan’ yang dilakukan oleh kelompok yang
menamakan dirinya sebagai gerakan salafi. Lihat Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah;
menimbang jalan pikiran orang-orang yang bersikap keras dalam beragama (Tangerang,
Lentera Hati 2012) hlm 10-18
[2] secara garis
besar pahala dapat dipahami sebagai balasan yang dijanjikan Allah SWT sebagai
reward dari hasil kinerja baiknya selama hidup di dunia. Sedangkan dosa adalah
balasan dari Allah SWT atas perbuatan buruk yang dilakukan manusia semasa hidup
di dunia.
[3] Banyak konsep
amal baik (kebaikan) yang dapat mendatangkan pahala, salah satunya seperti
telah disampaikan oleh Imam al Ghazali, beliau mempetakan kebaikan
menjadi tiga bagian, pertama adalah suatu perbuatan manusia
didentifikasi menjadi tiga bagian, satu bagian adalah perbuatan yang
sejalan dengan kemauan dan tujuan sang pelaku, ini disebut kebaikan. kedua adalah
perbuatan bertolak belakang dengan kemauan dan tujuan yang dikehendaki
pelakunya, hal ini disebut dengan keburukan. ketiga adalah perbuatan
yang dikehendaki si pelaku akan tetapi tidak sesuai dengan tujuannya, ini yang
dinamakan dengan perbuatan sia-sia. Kedua adalah perbuatan yang sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh syara’,
hal ini dikenal sebagai sebuah kebaikan, sehingga sang pelaku mendapatkan
pahala atas perbuatannya itu. Sebaliknya perbuatan yang menyalahi syara’
disebut dengan keburukan, sehingga pelaku perbuatan pantas mendapatkan
‘ganjaran’ atas perbuatannya tersebut. Sedangkan yang ketiga adalah
bentuk perbuatan yang tidak diperintahkan oleh syara’ tetapi juga tidak
dilarang, ini yang dinamakan dengan mubah. Lihat Al-Ghazali,
al-Mankhul fi ta’liqat ilm al ushul, hal. 6, Pdf
[8] Lihat Kitab 9
Imam Hadis, Lidwa Pusaka i-software. Dalam al Maktabah as Syamilah, hadis
diatas terdapat dalam 4 kitab kanon: Sohih Muslim terdapat pada juz 3 hlm 68
dan juz 8 hlm 61. Dalam kitab Sunan at Tirmidzi pada juz 3 hlm 43. An Nasai juz
5 hlm 75. Dan Sunan Ibn Majjah juz 1 hlm 140, 142.
[10] Sunan at
Tirmidzi Juz 5 Hlm 43, al Maktabah as Syamilah
[12] Lihat Syarah
Sohihain, Abu al Faraj
Abd ar Rahman Ibn al Jauzy, Kasyf al Masykul min Hadis as
Sohihain (Riyadh, Dar al Wathn 1997) Juz 1 hlm 180
[13] Said bin
Jabir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ” يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ” adalah taat kepada
Allah SWT, sedangkan Syabib bin
Basyar dari ‘Akramah dari Ibn Abbas terkait dengan ayat ” يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ” menafsirkannya dengan haji dan Jihad. Lihat Hlm 290
[14] Lihat Sunan at
Tirmidzi Juz 5 hlm 43, al Maktabah as Syamilah
[15] Lihat Ahmad
Fauzi, Ilmu Kalam; sebuah pengantar (Cirebon, STAIN Press TTP) Hlm
28-52.
[16] Muhammad
Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar,
Pengalaman Mistik, Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti (Yogyakarta,
Narasi 2008)