Selasa, 11 Juni 2013

konsep pahala dalam pandangan tekstualis dan filosofis


BAB I
A.    Pendahuluan
      Fenomena membidahkan, takfir sesama muslim beberapa tahun belakangan marak kembali terdengar lagi di kampus kita, lewat media cetak berupa selebaran, bulletin mingguan maupun statement yang dikeluarkan langsung oleh beberapa tokoh yang ditengarai memiliki ide dasar ‘memurnikan Islam’ dari pengaruh ‘non-islami’. Kelompok ini secara garis besar mempunyai tujuan untuk ‘mengembalikan’ Islam sebagaimana wajah Islam yang dipraktekkan pada masa-masa awal[1].  Pada dasarnya, hal ini—fenomena membidahkan, takfir dsb, menurut hemat penulis—dapat terjadi dikarenakan pemahaman tentang konsep dari prilaku keagamaan yang menumbuhkan pahala atau dosa[2]. Atas dasar pemahaman pahala dan dosa dalam ranah aplikatif, kemudian manusia berlomba berbuat kebaikan dengan kemampuan mereka dalam mengaplikasikankan kebaikan yang bersifat normatif sebagaimana interpretasi mereka tentang ‘kebaikan normatif’ tersebut, tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan reward (pahala) dari Allah SWT .
      Pertanyaan yang datang kemudian adalah amal baik seperti apa yang menumbuhkan pahala, tentu hal ini dapat dijawab dengan bahasa umum ‘kembali’ pada al Qur’an, Sunnah Nabi, qoul sahabat, tabiin, serta pendapat para ulama yang dipercaya sebagai ‘pewaris nabi’[3]. Dalam makalah yang singkat ini, penulis mencoba untuk memaparkan tentang konsep pahala dan beberapa pendapat tokoh tentangnya.
Term pahala yang ditulis dalam sekian banyak hadis Nabi, seringkali—sedekat yang penulis ketahui—diungkapkan dengan redaksi ajr (اجر ) atau tsawab (ثواب), sebagaimana dalam kutipan redaksi hadis Nabi Saw yang akan penulis jadikan sebagai pokok pembahasan:
من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها  الخ. . .
B.     Rumusan Masalah
            Dari sekilas pendahuluan yang dipaparkan diatas, setidaknya ada beberapa permasalahan yang akan menjadi pokok bahasan dalam makalah ini
1.      Apa  pengertian pahala?
2.      Bagaimana kualitas matan hadis yang membincang pahala?
3.      Bagaimana pendapat tokoh tentang konsep pahala?

C.     Tujuan Penulisan
                  Sesuai yang telah disebutkan dalam rumusan penulisan makalah, tujuan dari ditulisnya makalah ini minimal dapat mendeskripsikan serta mengkonfirmasi atas beberapa rumusan masalah diatas yakni: Pertama, dapat mendeskripsikan tentang makna dari pahala, kedua dapat mengetahui kualitas hadis yang membincang tentang pahala dan terakhir bisa mengetahui perbedaan maupun kesamaan yang terdapat dalam konsep tentang pahala yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang penulis ketahui.

D.    Manfaat penulisan
            Sebagaimana gading yang tak luput dari retak, makalah ini pun tentu banyak mempunyai kekurangan, namun terlepas dari itu, penulis berharap ada setetes manfaat yang dapat diambil dari makalah yang sangat sederhana ini, minimal diantaranya sebagai kajian hadis yang ikut mewarnai khazanah intelektual kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon, khususnya dalam prodi tafsir hadis, kemudian menjadi ‘referensi tambahan’ bagi teman-teman mahasiswa dalam memahami konsep pahala, dan terakhir sebagai bentuk tanggung jawab dari tugas terstruktur mata kuliah Hadis Falsafi yang dibimbing oleh Ibu Hj. Umayah M.Ag.

BAB II
Pembahasan
(Konsep pahala dalam Hadis)

A.                Definisi Pahala
            Pahala dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti: ganjaran Tuhan atas perbuatan baik manusia, atau disebut juga sebagai buah dari perbuatan baik[4]. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab al Munjid, Pahala (ajr اجر ) berarti tsawab (ثواب)[5]. Tsawab (ثواب) kemudian diartikan sebagai balasan dari perbuatan baik yang telah dilakukan[6]. Dari definisi diatas—menurut hemat penulis—nampaknya pahala secara bahasa dan istilah hampir mempunyai kesamaan, dalam arti satu term yang mencakup dua sudut pandang (etimologis dan terminologis), pahala adalah sebuah istilah yang diungkapkan sebagai ‘ganjaran’ dari Tuhan terhadap perbuatan baik yang telah dilakukan oleh manusia. Namun penggunaannya dapat berarti menjadi upah/gaji bila disandarkan terhadap manusia; bekerja untuk manusia (ajr اجر )[7].
            Konsep tentang pahala sendiri hampir disepakati oleh jumhur ‘ulama seperti definisi yang telah diungkapkan diatas, walaupun terdapat perbedaan dari dua dua poros pemikiran; tekstualis dan filosofis, terkait dengan pahala dan ‘pelaku kebaikan’ yang berhak mendapatkan pahala, hal ini yang akan dibahas dalam bagian selanjutnya.

B.     Kajian Matan Hadis
      Sebagaimana telah dipaparkan diatas, bahwa ‘pahala’ dalam hadis sering kali ditulis dengan menggunakan redaksi (ajr اجر ) atau tsawab (ثواب), namun pada pembahasan hadis ini kami hanya memfokuskan kajian matan hadis dengan redaksi (ajr اجر ) sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Majjah[8]

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّ عَلَيْهِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدِي كَذَا وَكَذَا قَالَ فَمَا بَقِيَ فِي الْمَجْلِسِ رَجُلٌ إِلَّا تَصَدَّقَ عَلَيْهِ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اسْتَنَّ خَيْرًا فَاسْتُنَّ بِهِ كَانَ لَهُ أَجْرُهُ كَامِلًا وَمِنْ أُجُورِ مَنْ اسْتَنَّ بِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ اسْتَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَاسْتُنَّ بِهِ فَعَلَيْهِ وِزْرُهُ كَامِلًا وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِي اسْتَنَّ بِهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا

“Telah menceritakan kepada kami Abdul Warits bin Abdush Shamad bin Abdul Warits berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku berkata, telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Ayyub dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah ia berkata; Seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau memberi motifasi kepadanya (untuk beramal dengan sesuatu). Seorang laki-laki di antara kami berkata; "Aku mempunyai seperti ini dan seperti ini." Abu Hurairah berkata: Maka tidak seorangpun yang ada di majlis tersebut kecuali ia bersedekah kepada Nabi baik sedikit maupun banyak. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Barangsiapa membuat sunnah yang baik, kemudian sunnah itu menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan pahala amalnya secara sempurna berserta pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk, kemudian sunnah itu menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya secara sempurna beserta dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun"

Hadis serupa, juga disampaikan oleh Imam Muslim, Imam at Tirmidzi, Imam an Nasai’ dengan redaksi:

...فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ[9]
حدثنا أحمد بن منيع حدثنا يزيد بن هرون أخبرنا المسعودي عن عبد الملك بن عمير عن ابن جرير بن عبد الله عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن سنة خير فاتبع عليها فله أجره ومثل أجور من اتبعه غير منقوص من أجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار من اتبعه غير منقوص من أوزارهم شيئا[10]
...قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من غير أن ينقص من أجورهم شيئا ومن سن في الإسلام سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها من غير أن ينقص من أوزارهم شيئا[11]

      Dari keempat redaksi hadis yang membincang pahala (ajr اجر ) diatas, secara garis besar tidak ada yang yang berbeda apabila dilihat dari segi esensi yang dikandungnya dan penggunaan term (اجر) sebagai ungkapan pahala bagi pelaku kebaikan. Tetapi kemudian terdapat perbedaan penggunaan redaksi yang disampaikan dalam keempat kitab hadis diatas terkait dengan redaksi ‘kebaikan’ dan ‘keburukan’, sebagaimana yang penulis sampaikan dibawah ini:
-           Imam Muslim dan Imam an Nasai’ menggunakan redaksi hadis hasanah (حسنة ) dalam menyampaikan ‘kebaikan’ serta sayyiah (سيئة) untuk ‘keburukan’,
-           Imam Ibn Majjah menggunakan kata khair (خير) untuk ‘kebaikan’ dan sayyiah (سيئة) untuk ‘keburukan’.
-           Imam at Tirmidzi menggunakan kata khair (خير) untuk ‘kebaikan’ dan syarr (شر) untuk ‘keburukan’.
Terkait dengan panjang dan pendeknya redaksi hadis, hampir dari semua kitab hadis yang dirujuk mempunyai kesamaan kecuali hadis milik Imam Ibn Majjah yang sedikit lebih panjang dibandingkan dengan yang lainnya. Namun secara essensial tidak memiliki perbedaan apabila dilihat dari segi ma’na nya. 
Nampaknya hadis diatas—menurut hemat penulis—selain membicarakan pahala yang dilipat gandakan,  juga membicarakan pentingnya berbuat baik (mengkonsep perbuatan baik), karena dari setiap konsep kebaikan yang kita ‘tularkan’ terhadap orang lain dan orang lain pun kemudian melakukan hal yang sama, maka kita ‘berhak’ mendapatkan ‘ganjaran/pahala’ sesuai dengan kebaikan yang pernah dikerjakan. Seperti yang dikemukakan oleh Abu al Faraj Abd ar Rahman Ibn al Jauzy; ‘sunnah’ disini lebih jauh diartikan sebagai perbuatan baik (فعل خير) yang akan mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT[12]. Dari sisi yang lain, dalam pemahaman penulis—hadis  ini memiliki korelasi yang erat dengan salah satu ayat al Qur’an dalam surat al Baqarah ayat 261:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Imam Abi al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi dalam tafsirnya menjelaskan ayat diatas secara garis besar menukil beberapa pendapat sahabat dan ulama mutaqoddimin tentang  orang-orang yang meng-infaq-kan hartanya di jalan Allah SWT akan diberikan pahala yang berlipat ganda, dalam hal ini beliau sendiri menambahkan tafsirannya bahwa ayat diatas bukan hanya difokuskan pada infaq di jalan Allah SWT, melainkan mencakup segala perbuatan baik yang dikerjakan akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sebagaimana dianalogikan dengan berkembangnya tanaman padi apabila ditanamkan pada sebidang tanah yang subur[13].        Sampai pada titik ini, hadis yang membicarakan tentang pahala yang menjadi pokok kajian dalam makalah ini dapat dikategorisasikan sebagai hadis sohih apabila dilihat dari segi matannya, seperti diungkapkan oleh al Albani[14].

C.     Pendapat Tokoh tentang Pahala
  Sesingkat pendekatan yang penulis lakukan berkenaan dengan konsep pahala, beberapa tokoh dapat dikategorisasikan kedalam dua bagian, bagian  pertama adalah tokoh yang pokok kajiannya bertumpu pada teks, dimana konsep tentang pahala menurut kelompok ini adalah reward yang diberikan Allah SWT berkenaan dengan prilaku baik yang dikerjakan oleh manusia, kelompok ini biasanya didominasi oleh kalangan berbasis aliran teologi dalam Islam, seperti Asy’ariyyah, Mu’tazilah, Syi’ah dsb[15], tokoh-tokonya antara lain adalah Imam al Ghazali, Syeikh Murtadha Muthahari, Sayid Husein Fadhlullah, Rasyid Ridha dll. Walaupun terdapat kesamaan konsep pahala dari sebagian besar aliran teologi dalam Islam, bukan berarti tidak terdapat perbedaan, perbedaan ini mengacu pada bentuk kebaikan dan pelaku kebaikan yang berhak mendapatkan pahala. Kelompok kedua adalah tokoh yang melandaskan pemikirannya pada akal, kelompok kedua ini didominasi oleh para filosof dan beberapa pemikir kontemporer. Tokoh yang termasuk dalam kelompok kedua beranggapan bahwa konsep pahala sebagai reward dari Allah SWT atas prilaku baik yang dilakukan akan memenjarakan kita pada ‘harapan semu’ dan hilangnya arti kebaikan itu sendiri, karena mengharapkan balasan dari prilaku baik yang sudah dikerjakan. Lebih jauh dianggap sebagai bentuk ‘ketakutan’[16]. Tokoh-tokoh kelompok kedua ini antara lain, Al Hallaj dan Syekh  Abdul Jalil.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Pahala/ajr (اجر ) yang termaktub dalam hadis Nabi secara garis besar dapat diartikan sebagai reward yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang menjalankan segala bentuk kebaikan, pun ketika hadis diatas mempunyai kaitan yang cukup kuat dengan ayat 261 dalam surat al Baqarah. Sebagaimana disampaikan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, bahwa ‘menginfaqkan harta di jalan Allah SWT’ tidak hanya terbatas harta, berjihad dijalan Allah SWT serta melaksanakan ibadah haji, namun lebih luas diartikan segala bentuk kebaikan yang dilakukan oleh manusia.
Redaksi hadis yang membicarakan tentang pahala yang diambil dari beberapa kitab kanon hadis dinilai sohih, karena tidak bertentangan dengan al Qur’an dan memiliki arti yang positif, yakni mengajak manusia untuk berbuat baik, sebagaimana disampaikan oleh al Albani.
Berkenaan dengan pendapat para tokoh tentang konsep pahala, dapat dibagi menjadi dua, pertama adalah kelompok yang memberikan definisi pahala sebagai reward dari Allah SWT atas kebaikan yang dilakukan oleh manusia, kelompok ini diisi aliran teologi dalam Islam. Sedangkan kelompok kedua yang didominasi oleh para filusuf. Kelompok ini ‘menolak’ konsep pahala jika penggunaanya hanya akan membawa pelaku kebaikan pada kerangka berfikir ‘untung-rugi’ (baca: Materialistik) dimana pahala hanya akan membawa kebaikan yang mereka lakukan bukan pada tujuan yang sesungguhnya, kebaikan yang didasarkan pada rasa takut akan hukuman (punishment).

Wallahu A’alam bis Shawab






B.     Daftar Pustaka

Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti (Yogyakarta, Narasi 2008)
Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam; sebuah pengantar (Cirebon, STAIN Press TTP)
Sunan at Tirmidzi Juz 5 hlm 43, al Maktabah as Syamilah
Imam Abi al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi  dalam Tafsir Ibn Katsir (Beirut, Dar al Fikr 2006)
Abu al Faraj Abd ar Rahman Ibn al Jauzy, Kasyf al Masykul min Hadis as Sohihain (Riyadh, Dar al Wathn 1997)
Imam Abi al Fida’ al Hafidz ibn Katsir ad Damasyqi  dalam Tafsir Ibn Katsir (Beirut, Dar al Fikr 2006)
Sohih Muslim Juz 3 Hlm 68, al Maktabah as Syamilah
Sunan at Tirmidzi Juz 5 Hlm 43, al Maktabah as Syamilah
Sunan an Nasai Jus 5 Hlm 75, al Maktabah as Syamilah
Kitab 9 Imam Hadis, Lidwa Pusaka i-software
kamus al Munawwir Arab-Indonesia
al Munjid (Beirut, dar al masyrq 1986)
KBBI Offline (Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring ‘Luar Jaringan’) Versi 1.5
Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah; menimbang jalan pikiran orang-orang yang bersikap keras dalam beragama (Tangerang, Lentera Hati 2012)
Al-Ghazali, al-Mankhul fi ta’liqat ilm al ushul, hal. 6, Pdf


[1] Menurut Prof. Dr. Ali Jum’ah, generasi muslim awal disebut dengan salafiyah, term ini digunakan untuk istilah tiga generasi awal ummat muslim, namun pada perjalanannya mengalami ‘penyelewengan’ yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya sebagai gerakan salafi. Lihat Ali Jum’ah, Bukan Bid’ah; menimbang jalan pikiran orang-orang yang bersikap keras dalam beragama (Tangerang, Lentera Hati 2012) hlm 10-18
[2] secara garis besar pahala dapat dipahami sebagai balasan yang dijanjikan Allah SWT sebagai reward dari hasil kinerja baiknya selama hidup di dunia. Sedangkan dosa adalah balasan dari Allah SWT atas perbuatan buruk yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.
[3] Banyak konsep amal baik (kebaikan) yang dapat mendatangkan pahala, salah satunya seperti telah disampaikan oleh Imam al Ghazali, beliau mempetakan kebaikan menjadi tiga bagian, pertama adalah suatu perbuatan manusia didentifikasi menjadi tiga bagian, satu bagian adalah perbuatan yang sejalan dengan kemauan dan tujuan sang pelaku, ini disebut kebaikan. kedua adalah perbuatan bertolak belakang dengan kemauan dan tujuan yang dikehendaki pelakunya, hal ini disebut dengan keburukan. ketiga adalah perbuatan yang dikehendaki si pelaku akan tetapi tidak sesuai dengan tujuannya, ini yang dinamakan dengan perbuatan sia-sia. Kedua adalah perbuatan yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syara’,  hal ini dikenal sebagai sebuah kebaikan, sehingga sang pelaku mendapatkan pahala atas perbuatannya itu. Sebaliknya perbuatan yang menyalahi syara’ disebut dengan keburukan, sehingga pelaku perbuatan pantas mendapatkan ‘ganjaran’ atas perbuatannya tersebut. Sedangkan yang ketiga adalah bentuk perbuatan yang tidak diperintahkan oleh syara’ tetapi juga tidak dilarang, ini yang dinamakan dengan mubah. Lihat Al-Ghazali, al-Mankhul fi ta’liqat ilm al ushul, hal. 6, Pdf
[4] Lihat KBBI Offline (Kamus Besar Bahasa Indonesia Luring ‘Luar Jaringan’) Versi 1.5
[5] Lihat Kamus al Munjid (Beirut, dar al masyrq 1986) Hlm 4
[6] Ibid Hlm 75
[7] Lihat kamus al Munawwir Arab-Indonesia hlm 159-160
[8] Lihat Kitab 9 Imam Hadis, Lidwa Pusaka i-software. Dalam al Maktabah as Syamilah, hadis diatas terdapat dalam 4 kitab kanon: Sohih Muslim terdapat pada juz 3 hlm 68 dan juz 8 hlm 61. Dalam kitab Sunan at Tirmidzi pada juz 3 hlm 43. An Nasai juz 5 hlm 75. Dan Sunan Ibn Majjah juz 1 hlm 140, 142.
[9] Sohih Muslim Juz 3 Hlm 68, al Maktabah as Syamilah
[10] Sunan at Tirmidzi Juz 5 Hlm 43, al Maktabah as Syamilah
[11] Sunan an Nasai Jus 5 Hlm 75, al Maktabah as Syamilah
[12] Lihat Syarah Sohihain, Abu al Faraj Abd ar Rahman Ibn al Jauzy, Kasyf al Masykul min Hadis as Sohihain (Riyadh, Dar al Wathn 1997) Juz 1 hlm 180
[13] Said bin Jabir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ” يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ  adalah taat kepada Allah SWT, sedangkan  Syabib bin Basyar dari ‘Akramah dari Ibn Abbas  terkait dengan ayat ” يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ” menafsirkannya dengan haji dan Jihad. Lihat Hlm 290
[14] Lihat Sunan at Tirmidzi Juz 5 hlm 43, al Maktabah as Syamilah
[15] Lihat Ahmad Fauzi, Ilmu Kalam; sebuah pengantar (Cirebon, STAIN Press TTP) Hlm 28-52.
[16] Muhammad Solikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula Gusti (Yogyakarta, Narasi 2008)

1 komentar: