Selasa, 09 April 2013

Salafiyah: misinterpretasi pemahaman Salafi


           
            Pasca reformasi, kebebasan berekspresi dalam berbagai bidang dirasa menemukan titik terangnya, pun dengan beberapa ‘gerakan keagamaan’ yang semula dikungkung kebijakan pemerintah yang otoriter kini lebih leluasa berkembang mengenalkan dirinya lebih dekat di depan dua ratus juta masyarakat Indonesia, bahkan tak jarang meng klaim kebenaran hanya datang dari kelompoknya. Fenomena ini belakangan menjadi sebuah warna baru yang ‘menguji’ keberadaan kelompok (firqah) keagamaan yang sudah lebih dulu ada, banyak dikenal serta diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebut saja kelompok yang menamakan dirinya dengan sebutan salafi, secara garis besar kelompok ini merindukan kemajuan dan wajah Islam yang hadir pada masa awal. Namun bila ditilik lebih dalam banyak ‘misinterpretasi’ makna salafi yang berkembang pada saat ini (Ali Jum’ah: 2012).
            Istilah salafiyah dalam terminologi Islam, merujuk pada tiga generasi pertama umat muslim.  Pada perjalanannya kemudian, istilah ini digunakan oleh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh sebagai bentuk perlawanan keagamaan terhadap ‘penindasan’ yang dilakukan barat sekaligus mereformasi pemikiran orang Islam yang dinilai ‘ternodai’ oleh praktek tahayul, bid’ah dan khurafat. Disaat yang hampir bersamaan, madzhab yang dinisbatkan pada Syekh Muhammad bin Abd Wahhab (Wahaby) yang berkembang di wilayah Najd dan jazirah Arab memiliki karakteristik yang sama dalam hal ‘membersihkan’ umat muslim dari tahayul, bid’ah dan khurafat. Tersebutlah kemudian kelompok wahabiyah dengan nama salafi, disamping untuk membangun kesan bahwa pemikiran madzhab ini tidak hanya berhenti pada Syekh Abd Wahhab, tetapi seolah terus berlanjut pada masa tiga generasi Islam awal, disamping sebagai bentuk show out  kepada pengikutnya bahwa seakan madzhab ini memiliki akidah, pemikiran dan metode yang sama dengan kaum Salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam.
            Generasi Islam awal (Salaf: S besar), kalau dicermati tidak pernah sekalipun mendeklarasikan diri sebagai sebuah identitas unik maupun wujud social dan epistemologi yang berbeda dengan kelompok muslim lain. Sikap toleransi, saling menghargai pendapat yang lain, tidak mudah membidahkan, menghargai perbedaan pun banyak terjadi pada masa itu. Oleh karena itu tidak pantas menyandarkan beberapa permasalahan parsial dengan mengatakan “ini adalah sikap kaum salaf” (Ali Jum’ah: 2012). Mengikuti (ittiba’) kaum Salaf, bukan berarti memenjarakan diri dalam arti harfiah kata-kata yang pernah mereka ucapkan atau sikap-sikap parsial yang pernah mereka lakukan, tetapi jauh daripada itu, mengikuti mereka berarti kembali kepada apa yang yang mereka gunakan untuk menghasilkan keputusan, seperti metodologi penafsiran atau penakwilan teks al Qur’an, memahami sunnah Nabi, dasar-dasar dalam berijtihad, melakukan ijma’, qiyas dan lain sebagainya, sebagaimana telah dikonsepsikan oleh para ulama (Amir Syarifudin: 2009). Kembali pada al Qur’an dan hadis bukan berarti menelan mentah-mentah teks tersebut tanpa metodologi yang jelas dalam mengupasnya, tetapi ada dialektika yang seimbang antara teks dan keadaan yang menjadi objek kajiannya (Harun Yahya: 2001).
            Berbicara tentang interpretasi teks keagamaan (al Qur’an dan Hadis) berkenaan dengan hukum ‘amaliah yang dikerjakan sehari-hari, sebagian besar ulama telah mengkosepsikannya dalam beberapa karya masterpiece kitab-kitab fiqh, disadari atau tidak, ulama sebagai ‘pewaris nabi’ dalam proses pengambilan hukum (istinbat al hukmi) merujuk pada keragaman pendapat para tabiin yang kemudian merujuk pada keragaman pendapat sahabat, hal ini semakin terlihat bahwa transmisi keilmuan (baca: metode penggalian hukum) para ulama dilakukan secara mutawatir sebagaimana transmisi pada qira’at-qira’at dalam al Qur’an dan sanad dalam hadis Nabi. Para ulama yang menggunakan metode pengambilan hukum sebagaimana dilakukan oleh generasi muslim awal, dalam hal ini termasuk dalam kategori ulama ahlussunnah wal jamaah  (Ali Jumu’ah; 2012)..
            Sampai pada titik ini, perlu dikaji ulang kiranya, ketika ada kelompok yang menamakan dirinya dengan sebutan salafi (atau kelompok sejenis dengan label ‘islam sesungguhnya’), tetapi kemudian tidak menghargai perbedaan pendapat, mudah membidahkan, menyebarkan kebencian, menuduh ulama sebagai ladang kesesatan, menggunakan kekerasan sebagai jalan da’wah, tidak mengakui ‘peleburan’ agama dan budaya, bahkan (maa ‘adzaAllah) mengkafirkan sesama muslim hanya dengan bermodalkan terjemahan al Qur’an dan pemahaman dangkal atas hadis Nabi. Astaghfirullah, semoga kita bukan bagian dari umat manusia yang mudah menyebarkan kebencian, selalau diberikan hidayah atas apa yang kita lakukan serta menjadi umat muslim yang selalu mengayomi sesama sebagaimana telah disampaikan oleh Nabi dalam hadis riwayat imam Bukhari
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقُرَشِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Yahya bin Sa'id Al Qurasyi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami bapakku berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata: 'Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Siapa yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya".
Wallahu a’lam bi shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar