Kamis, 14 Maret 2013

Salafiyah: misinterpretasi makna salafi



            Pasca reformasi, kebebasan berekspresi dalam berbagai bidang dirasa menemukan titik terangnya, pun dengan beberapa ‘gerakan keagamaan’ yang semula dikungkung kebijakan pemerintah yang otoriter kini lebih leluasa berkembang mengenalkan dirinya lebih dekat di depan dua ratus juta masyarakat Indonesia, bahkan tak jarang meng klaim kebenaran hanya datang dari kelompoknya. Fenomena ini belakangan menjadi sebuah warna baru yang ‘menguji’ keberadaan kelompok (firqah) keagamaan yang sudah lebih dulu ada, banyak dikenal serta diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Sebut saja kelompok yang menamakan dirinya dengan sebutan salafi, secara garis besar kelompok ini merindukan kemajuan dan wajah Islam yang hadir pada masa awal. Namun bila ditilik lebih dalam banyak ‘misinterpretasi’ makna salafi yang banyak berkembang pada saat ini (Ali Jum’ah: 2012).
            Istilah salafiyah dalam terminologi Islam, merujuk pada tiga generasi pertama umat muslim.  Pada perjalanannya kemudian, istilah ini digunakan oleh Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh sebagai bentuk perlawanan keagamaan terhadap ‘penindasan’ yang dilakukan barat sekaligus mereformasi pemikiran orang Islam yang dinilai ‘ternodai’ oleh praktek tahayul, bid’ah dan khurafat. Disaat yang hampir bersamaan, madzhab yang dinisbatkan pada Syekh Muhammad bin Abd Wahhab (Wahaby) yang berkembang di wilayah Najd dan jazirah Arab memiliki karakteristik yang sama dalam hal ‘membersihkan’ umat muslim dari tahayul, bid’ah dan khurafat. Tersebutlah kemudian kelompok wahabiyah dengan nama salafi, disamping untuk membangun kesan bahwa pemikiran madzhab ini tidak hanya berhenti pada Syekh Abd Wahhab, tetapi seolah terus berlanjut pada masa tiga generasi Islam awal, disamping sebagai bentuk show out  kepada pengikutnya bahwa seakan madzhab ini memiliki akidah, pemikiran dan metode yang sama dengan kaum Salaf dalam memahami dan mengamalkan Islam.
            Generasi Islam awal (Salaf: S besar), kalau dicermati tidak pernah sekalipun mendeklarasikan diri sebagai sebuah identitas unik maupun wujud social dan epistemologi yang berbeda dengan kelompok muslim lain. Sikap toleransi, saling menghargai pendapat yang lain, tidak mudah membidahkan, menghargai perbedaan pun banyak terjadi pada masa itu. Oleh karena itu tidak pantas menyandarkan beberapa permasalahan parsial dengan mengatakan “ini adalah sikap kaum salaf” (Ali Jum’ah: 2012). Mengikuti (ittiba’) kaum Salaf, bukan berarti memenjarakan diri dalam arti harfiah kata-kata yang pernah mereka ucapkan atau sikap-sikap parsial yang pernah mereka lakukan, tetapi jauh daripada itu, mengikuti mereka berarti kembali kepada apa yang yang mereka gunakan untuk menghasilkan keputusan, seperti metodologi penafsiran atau penakwilan teks al Qur’an, memahami sunnah Nabi, dasar-dasar dalam berijtihad, melakukan ijma’, qiyas dan lain sebagainya, sebagaimana telah dikonsepsikan oleh para ulama (Amir Syarifudin: 2009). Kembali pada al Qur’an dan hadis bukan berarti menelan mentah-mentah teks tersebut tanpa metodologi yang jelas dalam mengupasnya, tetapi ada dialektika yang seimbang antara teks dan keadaan yang menjadi objek kajiannya (Harun Yahya: 2001).
            Berbicara tentang interpretasi teks keagamaan (al Qur’an dan Hadis) berkenaan dengan hukum ‘amaliah yang dikerjakan sehari-hari, sebagian besar ulama telah mengkosepsikannya dalam beberapa karya masterpiece kitab-kitab fiqh, disadari atau tidak, ulama sebagai ‘pewaris nabi’ dalam proses pengambilan hukum (istinbat al hukmi) merujuk pada keragaman pendapat para tabiin yang kemudian merujuk pada keragaman pendapat sahabat, hal ini semakin terlihat bahwa transmisi keilmuan (baca: metode penggalian hukum) para ulama dilakukan secara mutawatir sebagaimana transmisi pada qira’at-qira’at dalam al Qur’an dan sanad dalam hadis Nabi. Para ulama yang menggunakan metode pengambilan hukum sebagaimana dilakukan oleh generasi muslim awal, dalam hal ini termasuk dalam kategori ulama ahlussunnah wal jamaah  (Ali Jumu’ah; 2012)..
            Sampai pada titik ini, perlu dikaji ulang kiranya, ketika ada kelompok yang menamakan dirinya dengan sebutan salafi (atau kelompok sejenis dengan label ‘islam sesungguhnya’), tetapi kemudian tidak menghargai perbedaan pendapat, mudah membidahkan, menyebarkan kebencian, menuduh ulama sebagai ladang kesesatan, menggunakan kekerasan sebagai jalan da’wah, tidak mengakui ‘peleburan’ agama dan budaya, bahkan (maa ‘adzaAllah) mengkafirkan sesama muslim hanya dengan bermodalkan terjemahan al Qur’an dan pemahaman dangkal atas hadis Nabi. Astaghfirullah, semoga kita bukan bagian dari umat manusia yang mudah menyebarkan kebencian, selalau diberikan hidayah atas apa yang kita lakukan serta menjadi umat muslim yang selalu mengayomi sesama sebagaimana telah disampaikan oleh Nabi dalam hadis riwayat imam Bukhari
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الْقُرَشِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو بُرْدَةَ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Yahya bin Sa'id Al Qurasyi dia berkata, Telah menceritakan kepada kami bapakku berkata, bahwa Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah dari Abu Burdah dari Abu Musa berkata: 'Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Siapa yang Kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya".
Wallahu a’lam bi shawab

Jumat, 08 Maret 2013

Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Pemikir Islam (Abu Yusuf Yaqub Al Kindi)



               Seiring dengan penerjemahan buku –dalam skala kecil– dari beberapa cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa asing kedalam bahasa Arab yang dilakukan pada masa Daulah Umayyah yang disponsori oleh Khalifah Khalid ibn Yazid, kemudian pada puncaknya penerjemahan secara besar-besaran hingga didirikannya sebuah lembaga khusus (Bait Al-Hikmah), dilakukan pada masa Khalifah Al-Ma’mun (Daulah Abbasiyah) termasuk didalamnya dilakukan penerjemahan buku-buku  filsafat Yunani.  Setidaknya hal ini banyak mempengaruhi beberapa pemikir Islam yang mendalami ilmu “luar” yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
               Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq Ibn Al-Shabbah Ibn Imran ibn ibn Muhammad ibn Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindi (801-866 M). Atau biasa kita kenal dengan sebutan Al-Kindi termasuk salah satu tokoh yang ikut serta dalam proyek penerjemahan yang dititahkan oleh Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan  beliau juga dikenal sebagai seorang filusuf muslim pertama keturunan Arab. Beliau lahir di Kuffah sekitar 185 H/ 801 M dan wafat sekitar tahun 252H/ 866 M.
               Terlihat Filsafat Yunani mempengaruhi pola fikir Al-Kindi, salah-satunya saat beliau memadukan ) تلفيق perpaduan) antara agama dan filsafat, dalam konsepsi pemikirannya bahwa berfilsafat tidak bertentangan dengan agama, karena filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of the truth) dan agama yang diwakili oleh Al-Qur’an membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat, oleh karena itu berfilsafat/mempelajarinya tidak dilarang, karena agama dan filsafat mempunyai tujuan yang sama yakni kebaikan dan kebenaran. Menurutnya siapapun yang menolak filsafat dapat digolongkan sebagai “kafir”, karena sudah jelas bahwa ia mengingkari kebenaran, kendatipun ia merasa dirinya paling benar. Pengetahuan tentang kebenaran –termasuk yang dihasilkan filsafat– berkenaan dengan kebenaran tentang Tuhan, segala sesuatu yang baik dan berguna dan juga sebagai alat untuk menjauhi laranganNYA dan menjalankan perintahNYA. Adalah kebenaran yang harus disambut baik kedatangannya, darimanapun  itu datangnya. Bukan malah menjauhi atau bahkan menolaknya.
               Jiwa (roh) menurut Al-Kindi, adalah qadim namun qadimnya jiwa dengan qadimnya Tuhan berbeda, karena jiwa diciptakan oleh Tuhan oleh karena itu qadimnya jiwa pun diciptakan oleh Tuhan. Kemudian jiwa adalah sesuatu yang tidak tersusun, sempurna, penting dan mulia, roh bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan, dimana sama halnya dengan hubungan cahaya dengan matahari. Sedangkan jisim (raga/badan) mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Al-Kindi memberikan perbandingan tentang keadaan jiwa, jika kemuliaan jiwa diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenangan jasmani, maka dibandingkan denga babi. Kemudian apabila dorongan nafsu-birahi yang lebih dominan maka Al-Kindi membandingkannya dengan anjing. Antara jiwa dan jisim kendatipun berbeda namun saling berberhubungan dan dibutuhkan keseimbangan diantara keduanya agar hidup manusia menjadi serasi dan seimbang. Ketidakseimbangan terjadi apabila salah satu dari unsur diatas berkuasa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan tuntunan untuk mencapai keserasian dan keseimbangan dalam hidup. Tuntunan ini disebut oleh Al-Kindi adalah iman dan Wahyu. Dari sini dapat dilihat pengaruh Filsafat Yunani yang diadopsi oleh Al-Kindi, atau lebih tepatnya pemikiran Plato, walaupun tidak semua “gagasan” Plato diamini oleh Al-Kindi.
               AL-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya; daya bernafsu , daya pemarah, dan daya berfikir(القوة السهوانية, القوةالغضبية, القوةالعقلية) . Kemudian daya berfikir ini disebut sebagai akal, dan akal terbagi menjadi;
1.      Akal yang bersifat potensial ((الذي بالقوة
2.      Akal yang telah keluar dari sifat potensial dan menjadi akal aktual                                  (الذي يخرج من القوة الى  الفعل)
3.      Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas  (الذي نسمية الثانى)
4.      Akal yang selamanya dalam aktualitas[1] (العقل الذى بالفعل ابدا)
               Jiwa dalam konsep Al-Kindi tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuan yang sempurna apabila ia masih bersama dengan badan, perpisahan antara jiwa dan badan membuat jiwa menemukan kebahagiaan pengetahuan yang sempurna, karena ia dapat pergi ke alam kebenaran atau alam akal didalam lingkungan cahaya dekat dengan Tuhan dan dapat bertemu denganNYA.
               Kemudian pada pembahasan moral, Al-Kindi menekankan bahwa manusia secara umum dan yang mempelajari filsafat hendaknya mempunyai perangai yang baik pula, sebagaimana filsafat yang megagungkan sebuah kebenaran. Idealnya para pencari kebaikan menapaki jalan yang dilaluinya –sesuai dengan tujuannya– dengan melaksanakan kebaikan atau tepatnya menempuh hidup susila. Baginya hikmah pengetahuan semata-mata dengan pelaksanaanya dalam dunia realita. Kebijaksanaan dicari bukan hanya untuk dirinya pribadi, melainkan yang dapat “dikonsumsi” oleh banyak orang.
               Dari sekilas beberapa konsepsi pemikiran Al-Kindi diatas, penulis dapat melihat bahwa hasil dari beberapa pemikiran yang dihasilkan oleh Al-Kindi memang tidak dapat terlepas dari pengaruh buku-buku Filsafat Yunani yang dipelajarinya. Beliau mencoba untuk “melegalkan” filsafat sebagai salah satu cabang ilmu yang bisa mengantarkan para pelakunya menuju kebenaran maupun kebaikan yang sejati ((الحق, dengan tegas beliau memaparkan argumentasi yang meyakinkan akan kebaikan berfilsafat dengan didasari keimanan, karena akal bagaimanapun juga membutuhkan keseimbangan dalam perjalannya mencari kebenaran, dimana keseimbangan yang dimaksud adalah dengan beriman dan menjadikan wahyu sebagai sesuatu yang tinggi –bukan ter– diatas akal. Dimana kebenaran yang terkandung didalam wahyu adalah kebenaran yang “instan” sedangkan kebenaran yang dihasilkan dengan jalan berfilsafat disertai keimanan akan memberikan hasil yang lebih “matang”.   


Wallahu a’alam bi shawab


[1] Akal yang selamanya dalam aktualitas ini yang menggerakkan potensial menjadi aktual, ia berbeda dari ketiga akal diatasnya, karena ia berada diluar roh manusia.

Kamis, 07 Maret 2013

Membaca Konsep Nabi dan Rasul dalam tafsir Al Maraghi



   A.    Pendahuluan

“Tidak semestinya bagi seorang manusia, bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau  mengutus seorang utusan, lalu ia diberi wahyu apa yang Ia kehendaki dengan izin-Nya. Sungguh, Ia Mahatinggi, Mahabijaksana. Dan demikianlah, Kami sampaikan kepadamu wahyu, atas perintah Kami, yang (sebelumnya) tak kau ketahui Kitab itu dan iman itu apa. Tetapi Kami  jadikan itu (Al-Qur’an) Cahaya; Kami bimibng siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami; dan engkau pasti membimibng (manusia) ke jalan yang lurus” (QS. asy-Syura: 51-52)[1].


            Penggalan salah satu ayat dari salah satu surah di dalam Al Qur’an diatas—bagi penulis—mengisyaratkan bahwasanya Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta menunjukkan eksistensinya terhadap manusia dan berbagai macam penghuni dunia lewat wahyu-ilahiyyah[2]. Karena “wahyu-Nya” (baca: Kalam-Nya) tidaklah sama dengan manusia, maka kemudian Allah SWT “mengirim” seorang Nabi atau Rasul sebagai media penyampai wahyuNya.
            Berita tentang ke Esa-anNya menjadi salah satu poin terpenting dari alasan mengapa Allah SWT mengutus hamba-Nya sebagai “utusan Tuhan” di muka bumi. Dalam kitab suciNya, manusia pembawa “pesan keTuhanan” termanifestasikan dalam sebuah term; Nabi dan atau Rasul. Pada perjalanannya, term yang digunakan bagi pembawa “pesan Tuhan” menurut beberapa pendefinisian tentangnya, memiliki karakteristik masing-masing, hal ini apabila disiandingkan dengan kedua bentuk nama bagi pembawa “pesan Tuhan” yakni Nabi dan atau Rasul[3].
            Dari beberapa varian—untuk tidak mengatakan kontroversi— pendapat tentang definisi dari Nabi dan atau Rasul pada waktunya juga menjadi “bahan pertimbangan” bagi para mufassir modern hingga kontemporer untuk kemudian mengkonsepsikan term Nabi dan atau Rasul sehingga menjadi konsep utuh tentang "utusan Tuhan". Tentunya dengan tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan atau bahkan perbedaan konsep keNabian yang pernah diungkapkan oleh para mufassir klasik (misalnya).
            Membahas tentang beberapa varian tentang konsep keNabian menjadi sebuah ‘keharusan’, karena hal ini menyangkut dengan prinsip dasar dari sebuah agama, khususnya Islam. Nabi atau Rasul yang diklaim sebagai utusan Tuhan dalam sudut pandang sebuah tafsir, baik disadari maupun tidak, akan mewujud menjadi bagian dari sebuah ideologi, ideologi yang akan menggiring para pembacanya untuk ‘mengimani’ konsep tersebut, sehingga menjadi bagian dari pola pikir dan jalan hidup yang diyakini sebagai suatu ‘kebenaran’.
            Pada kesempatan ini penulis mencoba ‘membaca’ konsep ke-Nabian dari sebuah kitab tafsir karya Ahmad Mushthafa Al Maraghi, atau lebih masyhur dikenal dengan tafsir Al Maraghi. Tidak lain sebagai proses pembelajaran bagi penulis sendiri dalam membaca karya dan pemikiran tokoh yang tertuang lewat tulisan-tulisannya.





B.     Pembahasan

Kata al Nabi secara etimologis berasal dari kata al-naba yang diartikan sebagai ‘berita yang berarti dan penting’, dengan demikian kata al Nabi dapat diartikan sebagai seseorang yang membawa berita yang berarti dan penting, lalu seseorang diberi label ‘Nabi’ karena membawa pesan atau berita berarti dan penting. Sedangkan secara terminologis kata al Nabi berarti ‘seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT, baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabligh) maupun tidak’[4]. Kata al Rasul, secara etimologis mempunyai makna yang sama dengan kata al mirsaal yang berarti; pesuruh atau kurir, Sedangkan kata al Rasul secara terminologis dapat dipahami sebagai orang yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan berita khusus atau rahasia (( النبى المرسل ورسول الله, السري اوالخاص [5]
Ahmad Mushthafa Al Maraghi dalam tafsirnya, ketika mneyinggung definisi tentang Nabi, beliau cenderung tidak berbeda dengan pendapat ulama klasik—yang penulis ketahui, dengan mengartikan ‘seseorang yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira,berupa surga bagi mereka yang mengikuti dan membenarkan ajararan yang kau bawa serta memberikan peringatan bagi mereka tentang adanya neraka sebagai balasan bagi orang yang mendustakan dan menyalahi apa yang telah engkau perintahkan’[6] (Q.S Al Ahzab:45-46)

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) y7»oYù=yör& #YÎg»x© #ZŽÅe³t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÍÎÈ   $·ŠÏã#yŠur n<Î) «!$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ %[`#uŽÅ ur #ZŽÏYB ÇÍÏÈ    

Dari dua ayat diatas, menurut Al Maraghi, Nabi sebagai utusan Allah SWT, kelak pada hari pembalasan diberikan tugas untuk menjadi saksi bagi ummatnya masing-masing saat dibangkitkan: memberikan pengawasan tentang segala macam tindak tanduk ummatmu serta menanggung segala bentuk kesaksian atas apa yang telah mereka lakukan[7].



Nampaknya, definisi atau konsep Nabi yang disampaikan oleh Al Maraghi sampai pada  titik ini tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti dengan konsep keNabian yang pernah disampaikan oleh para mufassir pendahulunya. Namun bila dibandingkan dengan konsep keRasulan, nampaknya Al Maraghi menggunakan perspektif yang “tidak umum” dalam arti, Al Maraghi secara garis besar tidak membedakan antara term Nabi dan Rasul dalam kaitannya sebagai “hamba Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan berita penting dari-Nya”. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran beliau dalam surat Al Baqarah ayat 119 dan 129. Beliau tidak memberikan keterangan tambahan terkait term yang digunakan Al Qur’an  terkait kata Rasul,

!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur ( Ÿwur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOŠÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ  
Artinya: “sesungguhnya kami mengutusmu (Muhammad) dengan membawa perkara yang tetap, tegas dan takkan menyesatkan umat manusia. Bahkan sebaliknya, justru akan membahagiakan bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk. Hal inipun menyegarkan hati dan keyakinan yang mantap. Masalah yang Muhammad bawa menyangkut masalah akidah yang sesuai dengan kenyataan, dan mengandung masalah syariat yang bisa menuntun pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akherat”[8]

$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ  

Artinya: “ya Tuhanku, utuslah untuk umat Islam yang taat kepada Engkau seorang Rasul dari kalanag mereka sendiri agar mereka dapat berbuat saying terhadap mereka. Mereka pun juga akan merasa lebih dekat dan menerima da’wahnya. Hal ini karena mereka akan memepelajari sejak pertumbuhannya, keutamaan akhlaknya yang bisa dipercaya, kesucian dan lain-lain[9].

Yang menarik kemudian, ketika bersinggungan dengan surat Al Ahzab ayat 40 dimana terdapat redaksi Muhammad sebagai ‘Khatama an Nabiyyin’, Al Maraghi seolah ‘melewatkan’ tafsirannya terhadap penggalan ayat ini, beliau hanya terfokuskan pada asbab an nuzul dari ayat ini[10]
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ  

Artinya: “tidaklah sepatutnya kamu takut kepada seorang pun dengan mengawini seorang wanita bekas anak angkatmu, bukan anak kandungmu. Karena kamu bukanlah bapak dari seorang pun, tetapi kamu adalah Rasulullah dalam menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya. Kamu adalah bapak dari setiap ummat, dalam arti mereka harus menghormati dan memuliakan kamu, sedangkan kamu wajib belas kasih terhadap mereka, karena memang demikianlah kebiasaan setiap Rasul terhadap umatnya[11].

Dari beberapa pemaparan tafsir Al Maraghi tentang konsep Nabi dan  Rasul diatas, dapat diambil benang merah bahwa Al Maraghi  dalam tafsirnya memberikan gambaran bahwa Nabi dan Rasul secara garis besar adalah “hamba Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan pesan, atau berita penting dari-Nya” dan jelas beliau tidak membedakan antara konsep Nabi dan Rasul, sebagaimana yang disampaikan oleh Tabathabai, Ayatullah Misbah Yazdi maupun ulama yang sependapat dengan mereka. Dan satu hal lainnya berkenaan dengan tafsir surat Al Ahzab ayat 40 yang secara tekstual menyinggung Nabi Muhammad sebagai ‘Khotama an Nabiyyin’, Al Maraghi ‘melewatkan’ untuk menafsirkannya, pembahasa ayat ini difokuskan pada Asbab an Nuzul dari ayat diatas.



C.     Kesimpulan

Erat kaitannya dengan keMaha Kuasaan-Nya, dijauhkan dari segala sifat tasybih terhadap segala ciptaan-Nya, Allah SWT mencoba ‘berkomunikasi’ dengan makhluk-Nya lewat seorang utusan. Utusan Tuhan yang kemudian dikonsepsikan di dalam Al Qur’an sebagai seorang Nabi dan atau Rasul penerima wahu-ilahiyyah. Pembawa wahyu-ilahiyyah ini ditangan penafsir secara garis besar mempunyai kesamaan yakni ‘pembawa pesan, berita penting dari Allah SWT’ namun pada perjalanannya, para ulama tafsir memberikan pengertian yang berbeda antara term Nabi dan Rasul.
Thabatabai berpendapat, bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul. Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu. Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda, misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap kaumnya, sedangkan Rasul wajib menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari beberapa varian tentang definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi.
 Nampaknya pada kelompok terakhir inilah Al Maraghi dapat digolongkan, karena dari beberapa ayat yang membicarakan tentang definisi tentang Nabi dan Rasul, misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 119 dan 129, surat Al Ahzab ayat 40, 45 dan 46, Al Maraghi cenderung menyamakan konsep antara keduanya. Menurut hemat penulis, anggapan kelompok ketiga ini titik tekannya ada pada relativitas sudut pandang, artinya jika dilihat dari sisi hubungannya dengan manusia maka utusan Tuhan ini dinamakan Rasul, sedangkan apabila dihubungkan dengan Alllah SWT, maka utusan Tuhan dinamakan Nabi. Wallahu a’alam bi as shawab


[1] “pembacaan” Mohammad Arkoun terhadap ayat ini, Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Mahrus El Mawa pada Jurnal Ulul Albab, UIN Malang 2007  
[2] . Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Muhammad Arkoun tentang wahyu. Arkoun membagi “wahyu” menjadi tiga ‘bentuk’: (1). firman, kalam, sabda (parole) Tuhan yang  transenden, ia tidak terbatas (infinite) Q.S Luqman:27 (2). kalam Tuhan yang  diturunkan kepada Nabi Muhammad selama lebih dari 20 tahun, wahyu pada masa ini ditransmisikan secara lisan untuk waktu yang cukup lama sebelum kemudian dituliskan, atau dalam istilah yang dipakai Komaruddin Hidayat; wahyu pada saat ini bukan lagi “kalamullah” tetapi sudah menjadi “produk bersama” yang didalamnya memuat gagasan Tuhan dimana lebih lanjut diterjemahkan oleh Nabi kedalam bahasa Arab, dan pada ‘model’ kedua ini, wahyu lebih mengacu pada langue. (3). Bentuk terakhir dari wahyu adalah, wahyu yang resmi tertutup karena dituliskan dalam mushaf lengkap dengan harakat dan tanda baca yang lainnya. Lihat  Komarudin Hidayat, Memahami bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina 1996) hal 86 dan  Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam (Yogyakarta, LKis 2006) hal 71-76
[3].  Pengertian antara Nabi dan Rasul secara garis besar tergolong tidak berbeda, yakni ; hamba Allah SWT yang mendapatkan wahyu dari-Nya. Namun kemudian beberapa ulama membedakan pendefinisian antara Nabi dan Rasul.  Thabatabai berpendapat, bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul. Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu. Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda, misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap kaumnya, sedangkan Rasul “wajib” menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari perdebatan tentang definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi. Keterangan ini disarikan dari Said ramadhan Al Buti, Kubra Al Yaqiniyyat Al-Kawniyyah (Dimashq, Dar Al Fikr 1985) hal 186-195 dan Artikel tentang  Perbedaan Nabi dan Rasul dalam http://hauzahmaya.com/artikel, diakses pada tanggal 16-02-2013
[4] Artikel terkait Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam oleh Dr. Anis Malik Thoha, disampaikan pada Workshop On Islamic Epistimology and Education Reform, Universitas Islam Negeri (UIN) Pekanbaru, 27 maret 2010

[5]Kamus Bahasa Arab Al Munawwir hlm 496
[6] Ahmad Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi (Semarang, Toha Putra 1984) vol. 22 hlm 28-30. Termasuk didalamnya memuat keterangan tentang misi meng-Esa-kan Allah SWT serta prilaku baik (terpuji) yang seharusnya mereka kerjakan.
[7]  Ibid.
[8] Ibid vol 2 hlm 371
[9] Ibid vol 2 hlm 396
[10] Dijelaskan asbab an nuzul berkenaan dengan surat Al Ahzab ayat 40, bermula Nabi menikahkan bekas budaknya yakni Zaid bin Haritsah dengan putrid dari bibinya Zainab binti Jahsy, dimana kemudian Zaid bin haritsah menceraikan Zainab binti Jahsy lalu Zainab menikah dengan Nabi. Ayat ini menurut Al Maraghi membincang.   tentang sanggahan dari fitnah yang ditujukan kepada Nabi bahwa Nabi menikahi janda dari anaknya sendiri, melainkan menikahi janda dari anak angkatnya yakni Zaid bin Haritsah. Lihat Ibid vol 22 hlm 15-24.
[11] Ibid vol 22 hlm 24