A.
Pendahuluan
“Tidak
semestinya bagi seorang manusia, bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali
dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau
mengutus seorang utusan, lalu ia diberi wahyu apa yang Ia kehendaki
dengan izin-Nya. Sungguh, Ia Mahatinggi, Mahabijaksana. Dan demikianlah, Kami
sampaikan kepadamu wahyu, atas perintah Kami, yang (sebelumnya) tak kau ketahui
Kitab itu dan iman itu apa. Tetapi Kami
jadikan itu (Al-Qur’an) Cahaya; Kami bimibng siapa yang Kami kehendaki
dari hamba-hamba Kami; dan engkau pasti membimibng (manusia) ke jalan yang
lurus” (QS. asy-Syura: 51-52)[1].
Penggalan salah satu ayat dari salah
satu surah di dalam Al Qur’an diatas—bagi penulis—mengisyaratkan
bahwasanya Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta menunjukkan eksistensinya
terhadap manusia dan berbagai macam penghuni dunia lewat wahyu-ilahiyyah[2].
Karena “wahyu-Nya” (baca: Kalam-Nya) tidaklah sama dengan manusia, maka
kemudian Allah SWT “mengirim” seorang Nabi atau Rasul sebagai media penyampai
wahyuNya.
Berita tentang ke Esa-anNya menjadi salah
satu poin terpenting dari alasan mengapa Allah SWT mengutus hamba-Nya sebagai
“utusan Tuhan” di muka bumi. Dalam kitab suciNya, manusia pembawa “pesan keTuhanan”
termanifestasikan dalam sebuah term; Nabi dan atau Rasul. Pada perjalanannya,
term yang digunakan bagi pembawa “pesan Tuhan” menurut beberapa pendefinisian
tentangnya, memiliki karakteristik masing-masing, hal ini apabila disiandingkan
dengan kedua bentuk nama bagi pembawa “pesan Tuhan” yakni Nabi dan atau Rasul[3].
Dari beberapa varian—untuk tidak
mengatakan kontroversi— pendapat tentang definisi dari Nabi dan atau Rasul pada
waktunya juga menjadi “bahan pertimbangan” bagi para mufassir modern hingga
kontemporer untuk kemudian mengkonsepsikan term Nabi dan atau Rasul sehingga
menjadi konsep utuh tentang "utusan Tuhan". Tentunya dengan tidak menutup kemungkinan
adanya kesamaan atau bahkan perbedaan konsep keNabian yang pernah diungkapkan
oleh para mufassir klasik (misalnya).
Membahas tentang beberapa varian tentang
konsep keNabian menjadi sebuah ‘keharusan’, karena hal ini menyangkut dengan
prinsip dasar dari sebuah agama, khususnya Islam. Nabi atau Rasul yang diklaim
sebagai utusan Tuhan dalam sudut pandang sebuah tafsir, baik disadari maupun
tidak, akan mewujud menjadi bagian dari sebuah ideologi, ideologi yang akan
menggiring para pembacanya untuk ‘mengimani’ konsep tersebut, sehingga menjadi
bagian dari pola pikir dan jalan hidup yang diyakini sebagai suatu ‘kebenaran’.
Pada kesempatan ini penulis mencoba
‘membaca’ konsep ke-Nabian dari sebuah kitab tafsir karya Ahmad Mushthafa
Al Maraghi, atau lebih masyhur dikenal dengan tafsir Al Maraghi.
Tidak lain sebagai proses pembelajaran bagi penulis sendiri dalam membaca karya
dan pemikiran tokoh yang tertuang lewat tulisan-tulisannya.
B.
Pembahasan
Kata al Nabi
secara etimologis berasal dari kata al-naba yang diartikan sebagai
‘berita yang berarti dan penting’, dengan demikian kata al Nabi dapat
diartikan sebagai seseorang yang membawa berita yang berarti dan penting, lalu seseorang
diberi label ‘Nabi’ karena membawa pesan atau berita berarti dan penting.
Sedangkan secara terminologis kata al Nabi berarti ‘seseorang yang
diberi wahyu oleh Allah SWT, baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabligh)
maupun tidak’[4].
Kata al Rasul, secara etimologis mempunyai makna yang sama dengan kata al
mirsaal yang berarti; pesuruh atau kurir, Sedangkan kata al Rasul secara
terminologis dapat dipahami sebagai orang yang diutus oleh Allah SWT untuk
menyampaikan berita khusus atau rahasia (( النبى المرسل ورسول الله, السري اوالخاص [5]”
Ahmad Mushthafa
Al Maraghi dalam tafsirnya, ketika mneyinggung definisi tentang Nabi, beliau
cenderung tidak berbeda dengan pendapat ulama klasik—yang penulis ketahui,
dengan mengartikan ‘seseorang yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan
kabar gembira,berupa surga bagi mereka yang mengikuti dan membenarkan ajararan
yang kau bawa serta memberikan peringatan bagi mereka tentang adanya neraka
sebagai balasan bagi orang yang mendustakan dan menyalahi apa yang telah engkau
perintahkan’[6]
(Q.S Al Ahzab:45-46)
$pkr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
!$¯RÎ)
y7»oYù=yör&
#YÎg»x©
#ZÅe³t6ãBur
#\ÉtRur
ÇÍÎÈ $·Ïã#yur
n<Î)
«!$#
¾ÏmÏRøÎ*Î/
%[`#uÅ ur
#ZÏYB
ÇÍÏÈ
Dari dua ayat diatas, menurut Al Maraghi, Nabi sebagai
utusan Allah SWT, kelak pada hari pembalasan diberikan tugas untuk menjadi
saksi bagi ummatnya masing-masing saat dibangkitkan: memberikan pengawasan
tentang segala macam tindak tanduk ummatmu serta menanggung segala bentuk
kesaksian atas apa yang telah mereka lakukan[7].
Nampaknya, definisi atau konsep Nabi yang disampaikan oleh Al
Maraghi sampai pada titik ini tidak
memiliki perbedaan yang cukup berarti dengan konsep keNabian yang pernah
disampaikan oleh para mufassir pendahulunya. Namun bila dibandingkan dengan
konsep keRasulan, nampaknya Al Maraghi menggunakan perspektif yang
“tidak umum” dalam arti, Al Maraghi secara garis besar tidak membedakan
antara term Nabi dan Rasul dalam kaitannya sebagai “hamba Allah SWT yang diutus
untuk menyampaikan berita penting dari-Nya”. Hal ini dapat dilihat dari
penafsiran beliau dalam surat Al Baqarah ayat 119 dan 129. Beliau tidak
memberikan keterangan tambahan terkait term yang digunakan Al Qur’an terkait kata Rasul,
!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #Zϱo0 #\ÉtRur ( wur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ
Artinya:
“sesungguhnya kami mengutusmu (Muhammad) dengan membawa perkara yang tetap,
tegas dan takkan menyesatkan umat manusia. Bahkan sebaliknya, justru akan
membahagiakan bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk. Hal inipun
menyegarkan hati dan keyakinan yang mantap. Masalah yang Muhammad bawa
menyangkut masalah akidah yang sesuai dengan kenyataan, dan mengandung masalah
syariat yang bisa menuntun pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akherat”[8]
$uZ/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ y7ÏG»t#uä ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkÏj.tãur 4 y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
Artinya: “ya Tuhanku,
utuslah untuk umat Islam yang taat kepada Engkau seorang Rasul dari kalanag
mereka sendiri agar mereka dapat berbuat saying terhadap mereka. Mereka pun
juga akan merasa lebih dekat dan menerima da’wahnya. Hal ini karena mereka akan
memepelajari sejak pertumbuhannya, keutamaan akhlaknya yang bisa dipercaya,
kesucian dan lain-lain[9].
Yang menarik kemudian, ketika bersinggungan dengan surat Al Ahzab
ayat 40 dimana terdapat redaksi Muhammad sebagai ‘Khatama an Nabiyyin’, Al
Maraghi seolah ‘melewatkan’ tafsirannya terhadap penggalan ayat ini, beliau
hanya terfokuskan pada asbab an nuzul dari ayat ini[10]
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJÎ=tã ÇÍÉÈ
Artinya: “tidaklah sepatutnya kamu
takut kepada seorang pun dengan mengawini seorang wanita bekas anak angkatmu,
bukan anak kandungmu. Karena kamu bukanlah bapak dari seorang pun, tetapi kamu
adalah Rasulullah dalam menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya. Kamu
adalah bapak dari setiap ummat, dalam arti mereka harus menghormati dan
memuliakan kamu, sedangkan kamu wajib belas kasih terhadap mereka, karena
memang demikianlah kebiasaan setiap Rasul terhadap umatnya[11].
Dari beberapa pemaparan tafsir Al Maraghi tentang konsep
Nabi dan Rasul diatas, dapat diambil
benang merah bahwa Al Maraghi dalam tafsirnya memberikan gambaran bahwa Nabi
dan Rasul secara garis besar adalah “hamba Allah SWT yang diutus untuk
menyampaikan pesan, atau berita penting dari-Nya” dan jelas beliau tidak
membedakan antara konsep Nabi dan Rasul, sebagaimana yang disampaikan oleh Tabathabai,
Ayatullah Misbah Yazdi maupun ulama yang sependapat dengan mereka. Dan
satu hal lainnya berkenaan dengan tafsir surat Al Ahzab ayat 40 yang secara
tekstual menyinggung Nabi Muhammad sebagai ‘Khotama an Nabiyyin’, Al
Maraghi ‘melewatkan’ untuk menafsirkannya, pembahasa ayat ini difokuskan
pada Asbab an Nuzul dari ayat diatas.
C.
Kesimpulan
Erat kaitannya dengan keMaha Kuasaan-Nya, dijauhkan dari segala
sifat tasybih terhadap segala ciptaan-Nya, Allah SWT mencoba
‘berkomunikasi’ dengan makhluk-Nya lewat seorang utusan. Utusan Tuhan yang
kemudian dikonsepsikan di dalam Al Qur’an sebagai seorang Nabi dan atau
Rasul penerima wahu-ilahiyyah. Pembawa wahyu-ilahiyyah ini
ditangan penafsir secara garis besar mempunyai kesamaan yakni ‘pembawa pesan,
berita penting dari Allah SWT’ namun pada perjalanannya, para ulama tafsir
memberikan pengertian yang berbeda antara term Nabi dan Rasul.
Thabatabai berpendapat,
bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul.
Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu
melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung
dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu.
Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan
istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain
mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda,
misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap
kaumnya, sedangkan Rasul wajib menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali
tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi
terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa
syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi
tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari beberapa varian tentang
definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi
adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi.
Nampaknya pada kelompok terakhir inilah Al
Maraghi dapat digolongkan, karena dari beberapa ayat yang membicarakan
tentang definisi tentang Nabi dan Rasul, misalnya dalam surat Al Baqarah ayat
119 dan 129, surat Al Ahzab ayat 40, 45 dan 46, Al Maraghi cenderung
menyamakan konsep antara keduanya. Menurut hemat penulis, anggapan kelompok
ketiga ini titik tekannya ada pada relativitas sudut pandang, artinya jika
dilihat dari sisi hubungannya dengan manusia maka utusan Tuhan ini dinamakan
Rasul, sedangkan apabila dihubungkan dengan Alllah SWT, maka utusan Tuhan
dinamakan Nabi. Wallahu a’alam bi as shawab
[1]
“pembacaan” Mohammad Arkoun terhadap ayat ini, Dikutip dari artikel yang
ditulis oleh Mahrus El Mawa pada Jurnal Ulul Albab, UIN Malang 2007
[2] .
Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Muhammad Arkoun tentang wahyu. Arkoun
membagi “wahyu” menjadi tiga ‘bentuk’: (1). firman, kalam, sabda (parole)
Tuhan yang transenden, ia tidak terbatas
(infinite) Q.S Luqman:27 (2). kalam Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad selama lebih
dari 20 tahun, wahyu pada masa ini ditransmisikan secara lisan untuk waktu yang
cukup lama sebelum kemudian dituliskan, atau dalam istilah yang dipakai
Komaruddin Hidayat; wahyu pada saat ini bukan lagi “kalamullah” tetapi
sudah menjadi “produk bersama” yang didalamnya memuat gagasan Tuhan dimana
lebih lanjut diterjemahkan oleh Nabi kedalam bahasa Arab, dan pada ‘model’
kedua ini, wahyu lebih mengacu pada langue. (3). Bentuk terakhir dari
wahyu adalah, wahyu yang resmi tertutup karena dituliskan dalam mushaf lengkap
dengan harakat dan tanda baca yang lainnya. Lihat Komarudin Hidayat, Memahami bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina 1996) hal 86 dan Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif
Kritik Nalar Islam (Yogyakarta, LKis 2006) hal 71-76
[3]. Pengertian antara Nabi dan Rasul secara garis
besar tergolong tidak berbeda, yakni ; hamba Allah SWT yang mendapatkan wahyu
dari-Nya. Namun kemudian beberapa ulama membedakan pendefinisian antara Nabi
dan Rasul. Thabatabai
berpendapat, bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul.
Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu
melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung
dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu.
Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan
istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain
mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda,
misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap
kaumnya, sedangkan Rasul “wajib” menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali
tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi
terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa
syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi
tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari perdebatan tentang
definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi
adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi. Keterangan ini disarikan dari Said
ramadhan Al Buti, Kubra Al Yaqiniyyat Al-Kawniyyah (Dimashq, Dar Al Fikr
1985) hal 186-195 dan Artikel tentang
Perbedaan Nabi dan Rasul dalam http://hauzahmaya.com/artikel,
diakses pada tanggal 16-02-2013
[4]
Artikel terkait Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam oleh Dr. Anis Malik Thoha,
disampaikan pada Workshop On Islamic Epistimology and Education Reform,
Universitas Islam Negeri (UIN) Pekanbaru, 27 maret 2010
[5]Kamus
Bahasa Arab Al Munawwir hlm 496
[6]
Ahmad Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi (Semarang, Toha
Putra 1984) vol. 22 hlm 28-30. Termasuk didalamnya memuat keterangan tentang
misi meng-Esa-kan Allah SWT serta prilaku baik (terpuji) yang seharusnya mereka
kerjakan.
[7] Ibid.
[8]
Ibid vol 2 hlm 371
[9]
Ibid vol 2 hlm 396
[10] Dijelaskan
asbab an nuzul berkenaan dengan surat Al Ahzab ayat 40, bermula Nabi
menikahkan bekas budaknya yakni Zaid bin Haritsah dengan putrid dari
bibinya Zainab binti Jahsy, dimana kemudian Zaid bin haritsah
menceraikan Zainab binti Jahsy lalu Zainab menikah dengan Nabi. Ayat ini
menurut Al Maraghi membincang.
tentang sanggahan dari fitnah yang ditujukan kepada Nabi bahwa Nabi
menikahi janda dari anaknya sendiri, melainkan menikahi janda dari anak
angkatnya yakni Zaid bin Haritsah. Lihat Ibid vol 22 hlm 15-24.
[11]
Ibid vol 22 hlm 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar