Kamis, 07 Maret 2013

Membaca Konsep Nabi dan Rasul dalam tafsir Al Maraghi



   A.    Pendahuluan

“Tidak semestinya bagi seorang manusia, bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan wahyu, atau dari balik tabir, atau  mengutus seorang utusan, lalu ia diberi wahyu apa yang Ia kehendaki dengan izin-Nya. Sungguh, Ia Mahatinggi, Mahabijaksana. Dan demikianlah, Kami sampaikan kepadamu wahyu, atas perintah Kami, yang (sebelumnya) tak kau ketahui Kitab itu dan iman itu apa. Tetapi Kami  jadikan itu (Al-Qur’an) Cahaya; Kami bimibng siapa yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami; dan engkau pasti membimibng (manusia) ke jalan yang lurus” (QS. asy-Syura: 51-52)[1].


            Penggalan salah satu ayat dari salah satu surah di dalam Al Qur’an diatas—bagi penulis—mengisyaratkan bahwasanya Allah SWT sebagai Tuhan alam semesta menunjukkan eksistensinya terhadap manusia dan berbagai macam penghuni dunia lewat wahyu-ilahiyyah[2]. Karena “wahyu-Nya” (baca: Kalam-Nya) tidaklah sama dengan manusia, maka kemudian Allah SWT “mengirim” seorang Nabi atau Rasul sebagai media penyampai wahyuNya.
            Berita tentang ke Esa-anNya menjadi salah satu poin terpenting dari alasan mengapa Allah SWT mengutus hamba-Nya sebagai “utusan Tuhan” di muka bumi. Dalam kitab suciNya, manusia pembawa “pesan keTuhanan” termanifestasikan dalam sebuah term; Nabi dan atau Rasul. Pada perjalanannya, term yang digunakan bagi pembawa “pesan Tuhan” menurut beberapa pendefinisian tentangnya, memiliki karakteristik masing-masing, hal ini apabila disiandingkan dengan kedua bentuk nama bagi pembawa “pesan Tuhan” yakni Nabi dan atau Rasul[3].
            Dari beberapa varian—untuk tidak mengatakan kontroversi— pendapat tentang definisi dari Nabi dan atau Rasul pada waktunya juga menjadi “bahan pertimbangan” bagi para mufassir modern hingga kontemporer untuk kemudian mengkonsepsikan term Nabi dan atau Rasul sehingga menjadi konsep utuh tentang "utusan Tuhan". Tentunya dengan tidak menutup kemungkinan adanya kesamaan atau bahkan perbedaan konsep keNabian yang pernah diungkapkan oleh para mufassir klasik (misalnya).
            Membahas tentang beberapa varian tentang konsep keNabian menjadi sebuah ‘keharusan’, karena hal ini menyangkut dengan prinsip dasar dari sebuah agama, khususnya Islam. Nabi atau Rasul yang diklaim sebagai utusan Tuhan dalam sudut pandang sebuah tafsir, baik disadari maupun tidak, akan mewujud menjadi bagian dari sebuah ideologi, ideologi yang akan menggiring para pembacanya untuk ‘mengimani’ konsep tersebut, sehingga menjadi bagian dari pola pikir dan jalan hidup yang diyakini sebagai suatu ‘kebenaran’.
            Pada kesempatan ini penulis mencoba ‘membaca’ konsep ke-Nabian dari sebuah kitab tafsir karya Ahmad Mushthafa Al Maraghi, atau lebih masyhur dikenal dengan tafsir Al Maraghi. Tidak lain sebagai proses pembelajaran bagi penulis sendiri dalam membaca karya dan pemikiran tokoh yang tertuang lewat tulisan-tulisannya.





B.     Pembahasan

Kata al Nabi secara etimologis berasal dari kata al-naba yang diartikan sebagai ‘berita yang berarti dan penting’, dengan demikian kata al Nabi dapat diartikan sebagai seseorang yang membawa berita yang berarti dan penting, lalu seseorang diberi label ‘Nabi’ karena membawa pesan atau berita berarti dan penting. Sedangkan secara terminologis kata al Nabi berarti ‘seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT, baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabligh) maupun tidak’[4]. Kata al Rasul, secara etimologis mempunyai makna yang sama dengan kata al mirsaal yang berarti; pesuruh atau kurir, Sedangkan kata al Rasul secara terminologis dapat dipahami sebagai orang yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan berita khusus atau rahasia (( النبى المرسل ورسول الله, السري اوالخاص [5]
Ahmad Mushthafa Al Maraghi dalam tafsirnya, ketika mneyinggung definisi tentang Nabi, beliau cenderung tidak berbeda dengan pendapat ulama klasik—yang penulis ketahui, dengan mengartikan ‘seseorang yang diutus oleh Allah SWT untuk menyampaikan kabar gembira,berupa surga bagi mereka yang mengikuti dan membenarkan ajararan yang kau bawa serta memberikan peringatan bagi mereka tentang adanya neraka sebagai balasan bagi orang yang mendustakan dan menyalahi apa yang telah engkau perintahkan’[6] (Q.S Al Ahzab:45-46)

$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# !$¯RÎ) y7»oYù=yör& #YÎg»x© #ZŽÅe³t6ãBur #\ƒÉtRur ÇÍÎÈ   $·ŠÏã#yŠur n<Î) «!$# ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ %[`#uŽÅ ur #ZŽÏYB ÇÍÏÈ    

Dari dua ayat diatas, menurut Al Maraghi, Nabi sebagai utusan Allah SWT, kelak pada hari pembalasan diberikan tugas untuk menjadi saksi bagi ummatnya masing-masing saat dibangkitkan: memberikan pengawasan tentang segala macam tindak tanduk ummatmu serta menanggung segala bentuk kesaksian atas apa yang telah mereka lakukan[7].



Nampaknya, definisi atau konsep Nabi yang disampaikan oleh Al Maraghi sampai pada  titik ini tidak memiliki perbedaan yang cukup berarti dengan konsep keNabian yang pernah disampaikan oleh para mufassir pendahulunya. Namun bila dibandingkan dengan konsep keRasulan, nampaknya Al Maraghi menggunakan perspektif yang “tidak umum” dalam arti, Al Maraghi secara garis besar tidak membedakan antara term Nabi dan Rasul dalam kaitannya sebagai “hamba Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan berita penting dari-Nya”. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran beliau dalam surat Al Baqarah ayat 119 dan 129. Beliau tidak memberikan keterangan tambahan terkait term yang digunakan Al Qur’an  terkait kata Rasul,

!$¯RÎ) y7»oYù=yör& Èd,ysø9$$Î/ #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur ( Ÿwur ã@t«ó¡è@ ô`tã É=»ptõ¾r& ÉOŠÅspgø:$# ÇÊÊÒÈ  
Artinya: “sesungguhnya kami mengutusmu (Muhammad) dengan membawa perkara yang tetap, tegas dan takkan menyesatkan umat manusia. Bahkan sebaliknya, justru akan membahagiakan bagi siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk. Hal inipun menyegarkan hati dan keyakinan yang mantap. Masalah yang Muhammad bawa menyangkut masalah akidah yang sesuai dengan kenyataan, dan mengandung masalah syariat yang bisa menuntun pemeluknya kepada kebahagiaan dunia dan akherat”[8]

$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ  

Artinya: “ya Tuhanku, utuslah untuk umat Islam yang taat kepada Engkau seorang Rasul dari kalanag mereka sendiri agar mereka dapat berbuat saying terhadap mereka. Mereka pun juga akan merasa lebih dekat dan menerima da’wahnya. Hal ini karena mereka akan memepelajari sejak pertumbuhannya, keutamaan akhlaknya yang bisa dipercaya, kesucian dan lain-lain[9].

Yang menarik kemudian, ketika bersinggungan dengan surat Al Ahzab ayat 40 dimana terdapat redaksi Muhammad sebagai ‘Khatama an Nabiyyin’, Al Maraghi seolah ‘melewatkan’ tafsirannya terhadap penggalan ayat ini, beliau hanya terfokuskan pada asbab an nuzul dari ayat ini[10]
$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã ÇÍÉÈ  

Artinya: “tidaklah sepatutnya kamu takut kepada seorang pun dengan mengawini seorang wanita bekas anak angkatmu, bukan anak kandungmu. Karena kamu bukanlah bapak dari seorang pun, tetapi kamu adalah Rasulullah dalam menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya. Kamu adalah bapak dari setiap ummat, dalam arti mereka harus menghormati dan memuliakan kamu, sedangkan kamu wajib belas kasih terhadap mereka, karena memang demikianlah kebiasaan setiap Rasul terhadap umatnya[11].

Dari beberapa pemaparan tafsir Al Maraghi tentang konsep Nabi dan  Rasul diatas, dapat diambil benang merah bahwa Al Maraghi  dalam tafsirnya memberikan gambaran bahwa Nabi dan Rasul secara garis besar adalah “hamba Allah SWT yang diutus untuk menyampaikan pesan, atau berita penting dari-Nya” dan jelas beliau tidak membedakan antara konsep Nabi dan Rasul, sebagaimana yang disampaikan oleh Tabathabai, Ayatullah Misbah Yazdi maupun ulama yang sependapat dengan mereka. Dan satu hal lainnya berkenaan dengan tafsir surat Al Ahzab ayat 40 yang secara tekstual menyinggung Nabi Muhammad sebagai ‘Khotama an Nabiyyin’, Al Maraghi ‘melewatkan’ untuk menafsirkannya, pembahasa ayat ini difokuskan pada Asbab an Nuzul dari ayat diatas.



C.     Kesimpulan

Erat kaitannya dengan keMaha Kuasaan-Nya, dijauhkan dari segala sifat tasybih terhadap segala ciptaan-Nya, Allah SWT mencoba ‘berkomunikasi’ dengan makhluk-Nya lewat seorang utusan. Utusan Tuhan yang kemudian dikonsepsikan di dalam Al Qur’an sebagai seorang Nabi dan atau Rasul penerima wahu-ilahiyyah. Pembawa wahyu-ilahiyyah ini ditangan penafsir secara garis besar mempunyai kesamaan yakni ‘pembawa pesan, berita penting dari Allah SWT’ namun pada perjalanannya, para ulama tafsir memberikan pengertian yang berbeda antara term Nabi dan Rasul.
Thabatabai berpendapat, bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul. Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu. Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda, misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap kaumnya, sedangkan Rasul wajib menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari beberapa varian tentang definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi.
 Nampaknya pada kelompok terakhir inilah Al Maraghi dapat digolongkan, karena dari beberapa ayat yang membicarakan tentang definisi tentang Nabi dan Rasul, misalnya dalam surat Al Baqarah ayat 119 dan 129, surat Al Ahzab ayat 40, 45 dan 46, Al Maraghi cenderung menyamakan konsep antara keduanya. Menurut hemat penulis, anggapan kelompok ketiga ini titik tekannya ada pada relativitas sudut pandang, artinya jika dilihat dari sisi hubungannya dengan manusia maka utusan Tuhan ini dinamakan Rasul, sedangkan apabila dihubungkan dengan Alllah SWT, maka utusan Tuhan dinamakan Nabi. Wallahu a’alam bi as shawab


[1] “pembacaan” Mohammad Arkoun terhadap ayat ini, Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Mahrus El Mawa pada Jurnal Ulul Albab, UIN Malang 2007  
[2] . Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Muhammad Arkoun tentang wahyu. Arkoun membagi “wahyu” menjadi tiga ‘bentuk’: (1). firman, kalam, sabda (parole) Tuhan yang  transenden, ia tidak terbatas (infinite) Q.S Luqman:27 (2). kalam Tuhan yang  diturunkan kepada Nabi Muhammad selama lebih dari 20 tahun, wahyu pada masa ini ditransmisikan secara lisan untuk waktu yang cukup lama sebelum kemudian dituliskan, atau dalam istilah yang dipakai Komaruddin Hidayat; wahyu pada saat ini bukan lagi “kalamullah” tetapi sudah menjadi “produk bersama” yang didalamnya memuat gagasan Tuhan dimana lebih lanjut diterjemahkan oleh Nabi kedalam bahasa Arab, dan pada ‘model’ kedua ini, wahyu lebih mengacu pada langue. (3). Bentuk terakhir dari wahyu adalah, wahyu yang resmi tertutup karena dituliskan dalam mushaf lengkap dengan harakat dan tanda baca yang lainnya. Lihat  Komarudin Hidayat, Memahami bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta, Paramadina 1996) hal 86 dan  Suhadi, Kawin Lintas Agama: Perspektif Kritik Nalar Islam (Yogyakarta, LKis 2006) hal 71-76
[3].  Pengertian antara Nabi dan Rasul secara garis besar tergolong tidak berbeda, yakni ; hamba Allah SWT yang mendapatkan wahyu dari-Nya. Namun kemudian beberapa ulama membedakan pendefinisian antara Nabi dan Rasul.  Thabatabai berpendapat, bahwa seluruh utusan Allah adalah Nabi, dan tak semua Nabi adalah Rasul. Perbedaan mendasar menurut beliau adalah, kalau Nabi hanya mendapatkan wahyu melalui mimpi, namun Rasul mendapatkan wahyu melalui malaikat secara langsung dan ia melihat serta berbicara langsung dengan malaikat penyampai wahyu. Sedangkan dalam perspektif Ayatullah Misbah Yazdi, Rasul adalah utusan istimewa dan khusus dari sisi Allah SWT. Disamping itu beberapa ulama lain mengklasifikasikan Nabi dan Rasul sebagai dua model utusan Tuhan yang berbeda, misalnya Nabi hanya menerima wahyu namun tidak wajib menyampaikan terhadap kaumnya, sedangkan Rasul “wajib” menyampaikan pada kaumnya, Nabi sering kali tidak memiliki kitab suci, Nabi tidak jarang hanya meneruskan syariat para Nabi terdahulu, sedangkan setiap Rasul cenderung memiliki kitab suci dan membawa syariat baru. Dengan kata lain Rasul sudah pasti seorang Nabi, sedangkan Nabi tidak selalu berpredikat Rasul. Yang lebih menarik dari perdebatan tentang definisi Nabi dan Rasul, ada sebuah kelompok yang berpendapat bahwa setiap Nabi adalah Rasul dan setiap Rasul adalah Nabi. Keterangan ini disarikan dari Said ramadhan Al Buti, Kubra Al Yaqiniyyat Al-Kawniyyah (Dimashq, Dar Al Fikr 1985) hal 186-195 dan Artikel tentang  Perbedaan Nabi dan Rasul dalam http://hauzahmaya.com/artikel, diakses pada tanggal 16-02-2013
[4] Artikel terkait Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam oleh Dr. Anis Malik Thoha, disampaikan pada Workshop On Islamic Epistimology and Education Reform, Universitas Islam Negeri (UIN) Pekanbaru, 27 maret 2010

[5]Kamus Bahasa Arab Al Munawwir hlm 496
[6] Ahmad Mushthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi (Semarang, Toha Putra 1984) vol. 22 hlm 28-30. Termasuk didalamnya memuat keterangan tentang misi meng-Esa-kan Allah SWT serta prilaku baik (terpuji) yang seharusnya mereka kerjakan.
[7]  Ibid.
[8] Ibid vol 2 hlm 371
[9] Ibid vol 2 hlm 396
[10] Dijelaskan asbab an nuzul berkenaan dengan surat Al Ahzab ayat 40, bermula Nabi menikahkan bekas budaknya yakni Zaid bin Haritsah dengan putrid dari bibinya Zainab binti Jahsy, dimana kemudian Zaid bin haritsah menceraikan Zainab binti Jahsy lalu Zainab menikah dengan Nabi. Ayat ini menurut Al Maraghi membincang.   tentang sanggahan dari fitnah yang ditujukan kepada Nabi bahwa Nabi menikahi janda dari anaknya sendiri, melainkan menikahi janda dari anak angkatnya yakni Zaid bin Haritsah. Lihat Ibid vol 22 hlm 15-24.
[11] Ibid vol 22 hlm 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar