Kamis, 07 Maret 2013

Hilang Kejujuran, Menjauhi Agama




           Beberapa tahun kebelakang, sering sekali kita mendengar pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik tentang prilaku menyimpang (korupsi, berkata tidak sesuai dengan realita, dsb) yang dilakukan oleh para petinggi negara. disadari atau tidak sebagian besar dari mereka adalah orang 'muslim', minimal dalam karena KTP mereka tercatat sebagai orang Islam. Sebagai muslim dan mengaku beriman tentunya ada banyak kriteria yang mendukung kesalehan prilaku, baik yang berhubungan dengan Allah SWT (hablun min  Allah) maupun berinteraksi dengan sesama manusia (hablun min an nas). Sebagai contoh kesalehan prilaku yang hubungannya dengan Allah SWT, adalah apabila setiap individu dari makhluk dapat menjalankan segala perintah yang diberikan Allah SWT juga beriringan dengan menjauhi segala bentuk larangan yang diberikanNYA. Dan semua hal ini dilakukan hanya karena mengharapkan keridoan dari Allah SWT tanpa harus berlandaskan pahala dari apa yang telah dilakukannya. Kesalehan prilaku terhadap Allah SWT akan menjadi sangat hambar apabila kemudian tidak dibarengi dengan kesalehan sosial, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan satu sama lain untuk menopang kehidupan mereka. Akan menjadi sesuatu yang diluar kebiasaan apabila ada manusia yang ingin hidupnya terlepas dari hiruk-pikuk transaksi antar umat manusia. Kesalehan sosial mencakup banyak hal, salah satu yang terpenting adalah kejujuran, karena apapun bentuk komunikasi dan transaksi yang kita lakukan jika tidak dibarengi dengan prilaku jujur maka akan berimpliksi pada kesinambungan kinerja kita selanjutnya.  
            Dewasa ini, kejujuran menjadi barang langka, bagaimana tidak. Setiap hari kita disuguhi berbagaimacam berita tentang ulah wakil rakyat, pengusaha yang bermain kotor, dan berbagaimacam permasalahan lain yang bersinggungan dengan sifat yang satu ini. Kita seolah hidup ditengah ketidakpercayaan terhadap sesama, bahkan terhadap teman-pun kita menaruh curiga. Ada hal bersifat substasi seolah tercerabut dalam diri manusia yaitu  “kejujuran”.
            Kejujuran semakin jauh meninggalkan “pemiliknya” karena dia bersifat abstrak dan tak mampu diterawang dengan mata telanjang, mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang meninggalkan sifat dasar yang seharusnya dipelihara dalam dirinya. Atas dasar ini penulis mencoba menggugah kembali jiwa yang haus akan kejujuran[1], dan kembali menempatkannya pada sisi tertinggi dari dalam diri kita sebagai fondasi utama ketika kita akan melakukan berbagai bentuk kegiatan, dan menjadikan kesalehan prilaku kita semua baik dimata Tuhan maupun dalam kaca mata manusia.


 “Orang jujur dapat pertolongan Allah SWT”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.

Dari hadits diatas minimal terdapat dua periwayat yakni yang kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi, yakni Imam Bukhari dan Ibn Majjah, tentunya dari masing-masing mempunyai perbedaan, dari segi redaksi dan susunan perawi yang meriwayatkan hadits tersebut[2]. 
Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari dalam kitab haditsnya Sohih Bukhari  berkenaan dengan hadits diatas menggunakan redaksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ[3] 
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Al Uwaisiy telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid dari Abu Al Goits dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.
         Mengambil dari redaksi kitab  hadits Sunan Ibn Majjah karya Abu ʻAbdillah Muḥammad ibn Yazid Ibn Majah al-Rabʻi al-Qazwini terdapat beberapa perbedaan redaksi matan dengan hadits yang disampaikan oleh Imam Bukhari. Dimana beliau menyampaikan matan hadits diatas sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَعقُوب بن حُميد بن كاسب حَدَّثَنَاعبد العزيز بن مُحمَّد عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِىِّ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ مولى إبن مطيع عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أنّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا, أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Telah menceritakan kepada kami Y’aqub bin Humaid bin Kasib telah menceritakan kepada kami Abdul ‘Aziz bin Muhammad dari Tsaur bin zaed Ad Diliy dari Abu Al Ghaits Maula ibn Muthi’ dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda: siapa yang mengambil harta manusia dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu”.
Perbedaan diantara kedua hadits diatas terletak pada redaksi dan para perawi di beberapa thabaqat dari dua jalur sanad yang berbeda. Walaupun pada akhirnya jalur sanad mengkerucut dan bertemu pada Tsaur bin Zaed, Abu Al Ghaits kemudian Abu Hurairah R.A. Dari matan hadits perbedaan cukup mencolok, apabila kita perhatikan, hadits yang disebutkan oleh Ibn Majjah  terlihat lebih “pendek” dibandingkan dengan matan hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhori.


Skema Jalur Sanad
Berikut adallah kredibilitas masing-masing perawi[4]:

                                                                          
1)    الاسم : أبو هريرة الدوسى اليمانى ( حافظ الصحابة ، اختلف فى اسمه و اسم أبيه اختلافا كثيرا )
الطبقة :  1 : صحابى
الوفاة :  57 هـ ( 58 أو 59 هـ قيل ذلك )
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  صحابى
رتبته عند الذهبي :  صحابى ، كان حافظا متثبتا ذكيا مفتيا ، صاحب صيام و قيام

2)    الاسم : سالم أبو الغيث المدنى ، مولى عبد الله بن مطيع بن الأسود القرشى العدوى
الطبقة :  3  : من الوسطى من التابعين
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة
رتبته عند الذهبي :  حجة

3)    الاسم : ثور بن زيد الديلى المدنى ، مولى بنى الديل بن بكر
الطبقة :  6  : من الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة :  135 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة
رتبته عند الذهبي :  ثقة

4)    الاسم : عبد الرحمن بن عبد العزيز بن عبد الله بن عثمان بن حنيف الأنصارى ، الأوسى ، أبو محمد المدنى ، الأمامى
الطبقة :  8  : من الوسطى من أتباع التابعين
 الوفاة :  162 هـ
روى له :  م  ( مسلم )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق يخطىء
رتبته عند الذهبي :  لم يذكرها

5)    الاسم : يعقوب بن حميد بن كاسب المدنى ( نزيل مكة ، و قد ينسب إلى جده )
الطبقة :  10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :  240 أو 241 هـ
روى له :  عخ ق  ( البخاري في خلق أفعال العباد - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق ربما وهم
رتبته عند الذهبي :  الحافظ ، قال أبو حاتم : ضعيف ، و قال غيره : صاحب مناكير ، و قال البخارى : لم نر إلا خيرا هو فى الأصل صدوق

6)    الاسم : أيوب بن سليمان بن بلال القرشى التيمى ، أبو يحيى المدنى ، مولى عبد الله بن أبى عتيق محمد بن عبد الرحمن بن أبى بكر الصديق
الطبقة :  9  : من صغار أتباع التابعين
الوفاة :  224 هـ
روى له :  خ د ت س  ( البخاري - أبو داود - الترمذي - النسائي )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة ، لينه الساجى بلا دليل
رتبته عند الذهبي :  ثقة

7)    الاسم : عبد الرحمن بن عبد العزيز بن عبد الله بن عثمان بن حنيف الأنصارى ، الأوسى ، أبو محمد المدنى ، الأمامى
الطبقة :  8  : من الوسطى من أتباع التابعين
الوفاة :  162 هـ
روى له :  م  ( مسلم )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق يخطىء
رتبته عند الذهبي :  لم يذكرها

Kritik Sanad
            Dengan mengetahui “kelas” setiap perawi dan bentuk sanad yang telah ter-skema-kan setidaknya dapat memberikan kita sebuah gambaran, bahwa hadits diatas secara kuantitas dapat diklasifikasikan sebagai hadits ahad/fard (mutlaq); hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang ada pada tabi’in sebagai aslus sanadnya(sebagian ulama menyatakan generasi sahabat atau tabi’in)[5]. Dari segi kualitas pun, penulis sependapat dengan Imam Bukhori bahwa hadits ini tergolong hadits sohih, sebab perawi bernama Tsaur Bin Zaid, dikenal sebagai seorang perawi yang terpercaya (tsiqoh/ ثقة)[6] walaupun kemudian pada Abdurrahman bin Abdul Aziz dikenal jujur (pada akhir hayatnya terkadang melakukan kekliruan “صدوق يخطىءtetapi menurut ad dzihabi tsiqoh) lantas ini  tidak menjadikan kualitas dari hadits ini turun, dan apabila dilihat substansi hadits ini sangat selaras sekali dengan hadits yang lain[7] dan dengan Al-Qur’an[8].
           
Kritik Matan
Dilihat dari kedua redaksi matan hadits diatas, penulis berasumsi bahwa hadits diatas tergolong hadits yang diriwayatkan secara lafadz (bi al lafdzi), ini terlihat karena dari kedua matan hadits diatas tidak terlalu banyak perbedaan dari segi lafadznya[9], walaupun kemudian pada matan hadits milik Imam Ibn Majjah sedikit lebih “pendek” dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, namun ini bukan berarti adanya kerusakan atas apa yang menjadi “tujuan” hadits diatas.
Dan apabila ditilik dari segi periwayatan, hadits ini tergolong hadits qouli, sebagaimana keterangan; Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa dan  keadaan yang berkaitan aqidah, syari’ah, akhlak dan  lainnya”[10]. Dan hadits diatas memuat permasalahan  akhlak –berprilaku jujur– didalamnya.

Pengertian jujur
Jujur adalah sifat atau sikap seseorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya, apa adanya, tidak ditambah dan tidak pula dikurangi. Dalam hubungannya dengan manusia ia selau berusaha member manfaat kepada orang lain serta menjaga jangan sampai apa yang diucapkan dan yang dilakukannya dapat merugikan orang lain.
            Rasulallah SAW bersabda:
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
« المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Hadits ini dishahihkan oleh al Albani didalam “ash Shahihah” nya.

عن ابن عمر ، أن رجلا جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله أي الناس أحب إلى الله ؟ وأي الأعمال أحب إلى الله عز وجل ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
 أحب الناس إلى الله أنفعهم للناس ، وأحب الأعمال إلى الله سرور تدخله على مسلم ، أو تكشف عنه كربة ، أو تقضي عنه دينا ، أو تطرد عنه جوعا ، ولأن أمشي مع أخ لي في حاجة أحب إلي من أن أعتكف في هذا المسجد ، يعني مسجد المدينة ، شهرا ، ومن كف غضبه ستر الله عورته ، ومن كظم غيظه ، ولو شاء أن يمضيه أمضاه ، ملأ الله عز وجل قلبه أمنا يوم القيامة ، ومن مشى مع أخيه في حاجة حتى أثبتها له أثبت الله عز وجل قدمه على الصراط يوم تزل فيه الأقدام
Dari Ibnu Umar bahwa seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?” Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk (menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan) itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki (hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa at Tarhib” (2623)
            Prilaku jujur –salah satu dari sekian banyak bentuk kebaikan dari kedua hadits diatas (walaupun secara eksplisit tidak disebutkan) tentunya menjadi sangat penting dalam kehidupan kita yang mengaku sebagai umat muslim, karena setidaknya itu adalah “wajah” Islam yang diinginkan oleh Allah SWT yang disampaikan oleh utusanNya. Karena sikap jujur yang sudah mengakar dalam diri akan membawa kita pada kebahagian yang dijanjikan Allah SWT baik di dunia maupun akhirat (afterlife) –hadits kedua–.
Sikap ataupun prilaku jujur boleh dikatakan sebagai sikap yang mendasari sesorang dalam melakukan berbagai macam kebaikan untuk dirinya sendiri maupun untuk segala sesuatu yang berada di sekelilingnya, karena kejujuran melambangkan keteguhan prinsip dan salah satu cerminan “amal soleh” yang sangat erat hubungannya dengan sifat dalam diri  seorang yang beriman dan kemudian bisa diaplikasikan dimanapun dia berada, sesuai dengan konteks yang menuntutnya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah salah satunya dalam surat At-Taubah:119
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar[11]
Dari penggalan ayat Al-Qur’an diatas, walaupun secara eksplisit tidak disebutkan kata “jujur” namun kata s-d-q (asal kata As Shodiqin) mempunyai arti benar, nyata, berkata benar[12] atau boleh juga dikatakan dengan “jujur”. Dan tentunya kata shodiqin –orang-orang yang benar– didalamnya mencakup golongan orang jujur.


Kesimpulan
 bagaimanapun juga, sebagai umat muslim, prilku jujur merupakan salah satu identitas terpenting yang selayaknya selalu dipelihara dalam prilaku kita sehari-hari, terlebih sifat ini dipertegas dengan adanya beberapa ayat al Qur'an dan hadis yang khusus berbicara mengenai hal itu. 


Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berkenaan dengan “kejujuran” masuk dalam kriteria hadits sohih sebab banyak dari perawi-nya, dikenal sebagai seorang perawi yang terpercaya (tsiqoh/ ثقة). Dari segi matan, hadits diatas tergolong hadits lafdzi bukan ma’nawi Dalam segi periwayatan, hadits ini termasuk dalam kategori hadits qouli  Jujur adalah sifat atau sikap seseorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya, apa adanya, tidak ditambah dan tidak pula dikurangi, sehingga darinya tidak ada yang merasa dirugikan. Jujur adalah kata yang universal dan seharusnya dapat ditempatkan dimanapun dan dalam keadaan apapun, apabila kita menginginkan hasil yang terbaik darinya. Prilaku ini adalah “wajah” muslimin sesungguhnya, karena dengannya orang lain akan tahu bahwa kebaikan –berprilaku jujur– dalam agama Islam sangatlah dianjurkan, terlebih lagi ditegaskan oleh hadits diatas. Tujuannya agar tidak terjadi kecurangan dan adanya salah satu pihak  yang merasa dirugikan.
Erat kaitannya bagi umat muslim dan para penguasa, hendaknya melihat jauh kedepan ketika akan melakukan tindakan menyimpang (berbohong, korupsi, kolusi dsb) karena bagaimanapun sebelum Tuhan 'berbicara', nyatanya kita hidup ditengah masyarakat, ada kebersamaan yang harus dibangun, dipelihara, tampilkan wajah amanah sesuai dengan etika yang Islam ajarkan, jangan gadaikan agamamu untuk kepentingan pribadi, ataupun kelompok. Agar kemudian wajah Islam yang membawa misi rahmatan lil 'alamin senantiasa terpancarkan lewat kesalihan prilaku para pemeluknya.


 Wallahu a'lam bi as shawab





[1] Mengambil dari hadits –sebagai sumber kedua dari hukum Islam– kiranya pantas untuk dikaji ulang berkenaan dengan periwayatan, redaksional, dan korelasinya dengan Al-Qur’an.
[2] Mu’jam  Mufharas Li Alfadz Al Hadits:1 Hlm. 24 “dengan menggunakan ‘clue’ lafadz  اخذdisana tertulis bahwa hadits ini mempunyai dua ‘bentuk’ ((خ إستقراض 2 – ق صدقات 11
[3] Sohih bukhori: vol.1, bab إستقراض  Hlm 82
[4] kredibilitas para perawi diambil dari Ruwat At Tadzhibin, Maktabah Syamilah
[5] Muhammad Ma’shum Zainy, Zubdatul ‘Ilmi. Hlm. 96
[6] As Suyuthiy, At Tadrib al Rawiy. Hlm. 147
[7]Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu, sebab kedustaan itu meragukan dan kejujuran itu menenangkan.”(HR. At-Turmudzi)
[8] At-Taubah Ayat 119
[9] Bahkan redaksi hadits milik Imam Bukhori serupa dengan yang diriwayatkan oleh Imam ahmad. Lihat “Al-Hadits       As Syarif”, hadits ke 8378 Imam Ahmad.
[10] Mudatsir, Ilmu Hadis, Cet I(Bandung : Pustaka Setia,2005), hal 33.

[11] Tim Departemen Agama (Al-Qur’an dan Terjemahan, Pustaka Maghfirah. Jakarta) Hlm. 206
[12] Kamus Al-Munawwir Arab-Indo, Hlm 770

Tidak ada komentar:

Posting Komentar