Beberapa tahun kebelakang, sering sekali kita mendengar pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik tentang prilaku menyimpang (korupsi, berkata tidak sesuai dengan realita, dsb) yang dilakukan oleh para petinggi negara. disadari atau tidak sebagian besar dari mereka adalah orang 'muslim', minimal dalam karena KTP mereka tercatat sebagai orang Islam. Sebagai
muslim dan mengaku beriman tentunya ada banyak kriteria yang mendukung
kesalehan prilaku, baik yang berhubungan dengan Allah SWT (hablun min Allah) maupun berinteraksi dengan sesama
manusia (hablun min an nas). Sebagai contoh kesalehan prilaku yang
hubungannya dengan Allah SWT, adalah apabila setiap individu dari makhluk dapat
menjalankan segala perintah yang diberikan Allah SWT juga beriringan dengan
menjauhi segala bentuk larangan yang diberikanNYA. Dan semua hal ini dilakukan
hanya karena mengharapkan keridoan dari Allah SWT tanpa harus berlandaskan
pahala dari apa yang telah dilakukannya. Kesalehan prilaku terhadap Allah SWT
akan menjadi sangat hambar apabila kemudian tidak dibarengi dengan kesalehan
sosial, karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial dan saling membutuhkan
satu sama lain untuk menopang kehidupan mereka. Akan menjadi sesuatu yang
diluar kebiasaan apabila ada manusia yang ingin hidupnya terlepas dari
hiruk-pikuk transaksi antar umat manusia. Kesalehan sosial mencakup banyak hal,
salah satu yang terpenting adalah kejujuran, karena apapun bentuk komunikasi dan transaksi yang kita
lakukan jika tidak dibarengi dengan prilaku jujur maka akan berimpliksi pada
kesinambungan kinerja kita selanjutnya.
Dewasa
ini, kejujuran menjadi barang langka, bagaimana tidak. Setiap hari kita
disuguhi berbagaimacam berita tentang ulah wakil rakyat, pengusaha yang bermain
kotor, dan berbagaimacam permasalahan lain yang bersinggungan dengan sifat yang satu ini. Kita seolah hidup ditengah ketidakpercayaan terhadap
sesama, bahkan terhadap teman-pun kita menaruh curiga. Ada hal bersifat
substasi seolah tercerabut dalam diri manusia yaitu “kejujuran”.
Kejujuran
semakin jauh meninggalkan “pemiliknya” karena dia bersifat abstrak dan tak
mampu diterawang dengan mata telanjang, mungkin hal ini yang menjadikan
sebagian orang meninggalkan sifat dasar yang seharusnya dipelihara dalam
dirinya. Atas dasar ini penulis mencoba menggugah kembali jiwa yang haus akan
kejujuran[1],
dan kembali menempatkannya pada sisi tertinggi dari dalam diri kita sebagai
fondasi utama ketika kita akan melakukan berbagai bentuk kegiatan, dan
menjadikan kesalehan prilaku kita semua baik dimata Tuhan maupun dalam kaca
mata manusia.
“Orang jujur dapat pertolongan Allah SWT”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ
النَّاسِ يُرِيدُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang mengambil harta
manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan
membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud
merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.
Dari
hadits diatas minimal terdapat dua periwayat yakni yang kredibilitasnya sudah tidak diragukan lagi, yakni Imam Bukhari dan Ibn
Majjah, tentunya dari masing-masing mempunyai perbedaan, dari segi redaksi dan
susunan perawi yang meriwayatkan hadits tersebut[2].
Imam
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin
Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari
dalam kitab haditsnya Sohih Bukhari berkenaan
dengan hadits diatas menggunakan redaksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ
بْنُ بِلَالٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ
أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ[3]
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul
'Aziz bin 'Abdullah Al Uwaisiy telah menceritakan kepada kami Sulaiman
bin Bilal dari Tsaur bin Zaid dari Abu Al Goits dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya
maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya
dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu.
Mengambil
dari redaksi kitab hadits Sunan Ibn
Majjah karya Abu ʻAbdillah
Muḥammad ibn Yazid Ibn Majah al-Rabʻi al-Qazwini terdapat
beberapa perbedaan redaksi matan dengan hadits yang disampaikan oleh Imam
Bukhari. Dimana beliau menyampaikan matan hadits diatas sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَعقُوب بن حُميد بن كاسب حَدَّثَنَاعبد العزيز بن
مُحمَّد عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ الدِّيلِىِّ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ مولى إبن مطيع عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أنّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا, أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Telah menceritakan kepada kami Y’aqub
bin Humaid bin Kasib telah menceritakan kepada kami Abdul ‘Aziz bin
Muhammad dari Tsaur bin zaed Ad Diliy dari Abu Al Ghaits Maula
ibn Muthi’ dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi
wa Sallam, bersabda: siapa yang mengambil harta manusia dengan maksud
merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu”.
Perbedaan diantara kedua hadits
diatas terletak pada redaksi dan para perawi di beberapa thabaqat dari dua
jalur sanad yang berbeda. Walaupun pada akhirnya jalur sanad mengkerucut dan
bertemu pada Tsaur bin Zaed, Abu Al Ghaits kemudian Abu Hurairah R.A. Dari
matan hadits perbedaan cukup mencolok, apabila kita perhatikan, hadits yang
disebutkan oleh Ibn Majjah terlihat
lebih “pendek” dibandingkan dengan matan hadits yang disebutkan oleh Imam
Bukhori.
Skema Jalur Sanad
Berikut adallah kredibilitas masing-masing perawi[4]:
1) الاسم : أبو هريرة الدوسى اليمانى ( حافظ
الصحابة ، اختلف فى اسمه و اسم أبيه اختلافا كثيرا )
الطبقة :
1 : صحابى
الوفاة :
57 هـ ( 58 أو 59 هـ قيل ذلك )
روى له : خ م د ت س
ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي
- النسائي - ابن ماجه )
رتبته
عند ابن حجر : صحابى
رتبته عند الذهبي :
صحابى ، كان حافظا متثبتا ذكيا مفتيا ، صاحب صيام و قيام
2) الاسم : سالم أبو الغيث المدنى ، مولى عبد الله
بن مطيع بن الأسود القرشى العدوى
الطبقة :
3 : من الوسطى من التابعين
روى
له : خ م د ت س ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي -
النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :
ثقة
رتبته عند الذهبي :
حجة
3) الاسم : ثور بن زيد الديلى المدنى ، مولى بنى
الديل بن بكر
الطبقة : 6 : من الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة : 135 هـ
روى له : خ م د ت س
ق ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي
- النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :
ثقة
رتبته عند الذهبي :
ثقة
4) الاسم : عبد الرحمن بن عبد العزيز بن عبد الله
بن عثمان بن حنيف الأنصارى ، الأوسى ، أبو محمد المدنى ، الأمامى
الطبقة : 8 : من الوسطى من أتباع التابعين
الوفاة
: 162 هـ
روى له : م ( مسلم )
رتبته عند ابن حجر :
صدوق يخطىء
رتبته عند الذهبي :
لم يذكرها
5) الاسم : يعقوب بن حميد بن كاسب المدنى ( نزيل
مكة ، و قد ينسب إلى جده )
الطبقة :
10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :
240 أو 241 هـ
روى له :
عخ ق ( البخاري في خلق أفعال
العباد - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صدوق ربما وهم
رتبته عند الذهبي : الحافظ ، قال أبو حاتم : ضعيف ، و قال غيره :
صاحب مناكير ، و قال البخارى : لم نر إلا خيرا هو فى الأصل صدوق
6) الاسم : أيوب بن سليمان بن بلال القرشى التيمى
، أبو يحيى المدنى ، مولى عبد الله بن أبى عتيق محمد بن عبد الرحمن بن أبى بكر
الصديق
الطبقة : 9 : من صغار أتباع التابعين
الوفاة : 224 هـ
روى له : خ د ت
س ( البخاري - أبو داود - الترمذي -
النسائي )
رتبته عند ابن حجر : ثقة ، لينه الساجى بلا دليل
رتبته عند الذهبي :
ثقة
7) الاسم : عبد الرحمن بن عبد العزيز بن عبد الله
بن عثمان بن حنيف الأنصارى ، الأوسى ، أبو محمد المدنى ، الأمامى
الطبقة : 8 : من الوسطى من أتباع التابعين
الوفاة : 162 هـ
روى له : م ( مسلم )
رتبته عند ابن حجر :
صدوق يخطىء
رتبته عند الذهبي :
لم يذكرها
Kritik Sanad
Dengan
mengetahui “kelas” setiap perawi dan bentuk sanad yang telah ter-skema-kan setidaknya
dapat memberikan kita sebuah gambaran, bahwa hadits diatas secara kuantitas dapat
diklasifikasikan sebagai hadits ahad/fard (mutlaq); hadits yang hanya
diriwayatkan oleh seorang perawi yang ada pada tabi’in sebagai aslus
sanadnya(sebagian ulama menyatakan generasi sahabat atau tabi’in)[5].
Dari segi kualitas pun, penulis sependapat dengan Imam Bukhori bahwa hadits ini
tergolong hadits sohih, sebab perawi bernama Tsaur Bin Zaid, dikenal sebagai
seorang perawi yang terpercaya (tsiqoh/ ثقة)[6]
walaupun kemudian pada Abdurrahman bin Abdul Aziz dikenal jujur (pada akhir
hayatnya terkadang melakukan kekliruan “صدوق يخطىء” tetapi menurut ad dzihabi tsiqoh)
lantas ini tidak menjadikan kualitas
dari hadits ini turun, dan apabila dilihat substansi hadits ini sangat selaras
sekali dengan hadits yang lain[7]
dan dengan Al-Qur’an[8].
Kritik Matan
Dilihat
dari kedua redaksi matan hadits diatas, penulis berasumsi bahwa hadits diatas
tergolong hadits yang diriwayatkan secara lafadz (bi al lafdzi), ini terlihat
karena dari kedua matan hadits diatas tidak terlalu banyak perbedaan dari segi
lafadznya[9], walaupun kemudian pada matan hadits milik Imam
Ibn Majjah sedikit lebih “pendek” dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori, namun ini bukan berarti adanya kerusakan atas apa yang
menjadi “tujuan” hadits diatas.
Dan apabila ditilik dari segi periwayatan,
hadits ini tergolong hadits qouli, sebagaimana keterangan; Yang dimaksud dengan hadis qauli
adalah “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik
berupa perkataan, ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa
dan keadaan yang berkaitan aqidah, syari’ah, akhlak dan lainnya”[10].
Dan hadits diatas memuat permasalahan
akhlak –berprilaku jujur– didalamnya.
Pengertian jujur
Jujur
adalah sifat atau sikap seseorang yang menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya,
apa adanya, tidak ditambah dan tidak pula dikurangi. Dalam hubungannya dengan
manusia ia selau berusaha member manfaat kepada orang lain serta menjaga jangan
sampai apa yang diucapkan dan yang dilakukannya dapat merugikan orang lain.
Rasulallah
SAW bersabda:
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
« المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير
فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »
Diriwayatkan dari Jabir berkata,”Rasulullah
saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi
seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang
paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)
Hadits ini dishahihkan oleh al Albani
didalam “ash Shahihah” nya.
عن ابن عمر ، أن رجلا جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله أي الناس أحب إلى الله ؟ وأي الأعمال أحب إلى الله عز وجل ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
أحب الناس إلى
الله أنفعهم للناس ، وأحب الأعمال إلى الله سرور تدخله على مسلم ، أو تكشف عنه
كربة ، أو تقضي عنه دينا ، أو تطرد عنه جوعا ، ولأن أمشي مع أخ لي في حاجة أحب إلي
من أن أعتكف في هذا المسجد ، يعني مسجد المدينة ، شهرا ، ومن كف غضبه ستر الله
عورته ، ومن كظم غيظه ، ولو شاء أن يمضيه أمضاه ، ملأ الله عز وجل قلبه أمنا يوم
القيامة ، ومن مشى مع أخيه في حاجة حتى أثبتها له أثبت الله عز وجل قدمه على
الصراط يوم تزل فيه الأقدام
Dari Ibnu Umar bahwa
seorang lelaki mendatangi Nabi saw dan berkata,”Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling dicintai Allah? dan amal apakah yang paling dicintai Allah swt?”
Rasulullah saw menjawab,”Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang
paling bermanfaat buat manusia dan amal yang paling dicintai Allah adalah
kebahagiaan yang engkau masukkan kedalam diri seorang muslim atau engkau
menghilangkan suatu kesulitan atau engkau melunasi utang atau menghilangkan
kelaparan. Dan sesungguhnya aku berjalan bersama seorang saudaraku untuk
(menuaikan) suatu kebutuhan lebih aku sukai daripada aku beritikaf di masjid
ini—yaitu Masjid Madinah—selama satu bulan. Dan barangsiapa yang menghentikan
amarahnya maka Allah akan menutupi kekurangannya dan barangsiapa menahan
amarahnya padahal dirinya sanggup untuk melakukannya maka Allah akan memenuhi
hatinya dengan harapan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan bersama
saudaranya untuk (menunaikan) suatu keperluan sehingga tertunaikan (keperluan)
itu maka Allah akan meneguhkan kakinya pada hari tidak bergemingnya kaki-kaki
(hari perhitungan).” (HR. Thabrani)
Hadits ini dihasankan oleh Syeikh al Albani didalam kitab “at Targhib wa
at Tarhib” (2623)
Prilaku
jujur –salah satu dari sekian banyak bentuk kebaikan– dari kedua hadits diatas (walaupun secara
eksplisit tidak disebutkan) tentunya menjadi sangat penting dalam kehidupan
kita yang mengaku sebagai umat muslim, karena setidaknya itu adalah “wajah”
Islam yang diinginkan oleh Allah SWT yang disampaikan oleh utusanNya. Karena
sikap jujur yang sudah mengakar dalam diri akan membawa kita pada kebahagian
yang dijanjikan Allah SWT baik di dunia maupun akhirat (afterlife)
–hadits kedua–.
Sikap
ataupun prilaku jujur boleh dikatakan sebagai sikap yang mendasari sesorang
dalam melakukan berbagai macam kebaikan untuk dirinya sendiri maupun untuk segala
sesuatu yang berada di sekelilingnya, karena kejujuran melambangkan keteguhan
prinsip dan salah satu cerminan “amal soleh” yang sangat erat hubungannya
dengan sifat dalam diri seorang yang
beriman dan kemudian bisa diaplikasikan dimanapun dia berada, sesuai dengan
konteks yang menuntutnya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah salah satunya
dalam surat At-Taubah:119
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar”[11]
Dari penggalan ayat Al-Qur’an
diatas, walaupun secara eksplisit tidak disebutkan kata “jujur” namun kata
s-d-q (asal kata As Shodiqin) mempunyai arti benar, nyata, berkata benar[12]
atau boleh juga dikatakan dengan “jujur”. Dan tentunya kata shodiqin
–orang-orang yang benar– didalamnya mencakup golongan orang jujur.
Kesimpulan
bagaimanapun juga, sebagai umat muslim, prilku jujur merupakan salah satu identitas terpenting yang selayaknya selalu dipelihara dalam prilaku kita sehari-hari, terlebih sifat ini dipertegas dengan adanya beberapa ayat al Qur'an dan hadis yang khusus berbicara mengenai hal itu.
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah berkenaan dengan “kejujuran” masuk dalam kriteria hadits sohih sebab
banyak dari perawi-nya, dikenal sebagai seorang perawi yang terpercaya (tsiqoh/
ثقة). Dari segi
matan, hadits diatas tergolong hadits lafdzi bukan ma’nawi Dalam
segi periwayatan, hadits ini termasuk dalam kategori hadits qouli Jujur adalah sifat atau sikap seseorang yang
menyatakan sesuatu dengan sesungguhnya, apa adanya, tidak ditambah dan tidak
pula dikurangi, sehingga darinya tidak ada yang merasa dirugikan. Jujur adalah
kata yang universal dan seharusnya dapat ditempatkan dimanapun dan dalam
keadaan apapun, apabila kita menginginkan hasil yang terbaik darinya. Prilaku
ini adalah “wajah” muslimin sesungguhnya, karena dengannya orang lain akan tahu
bahwa kebaikan –berprilaku jujur– dalam agama Islam sangatlah dianjurkan,
terlebih lagi ditegaskan oleh hadits diatas. Tujuannya agar tidak terjadi
kecurangan dan adanya salah satu pihak
yang merasa dirugikan.
Erat kaitannya bagi umat muslim dan para penguasa, hendaknya melihat jauh kedepan ketika akan melakukan tindakan menyimpang (berbohong, korupsi, kolusi dsb) karena bagaimanapun sebelum Tuhan 'berbicara', nyatanya kita hidup ditengah masyarakat, ada kebersamaan yang harus dibangun, dipelihara, tampilkan wajah amanah sesuai dengan etika yang Islam ajarkan, jangan gadaikan agamamu untuk kepentingan pribadi, ataupun kelompok. Agar kemudian wajah Islam yang membawa misi rahmatan lil 'alamin senantiasa terpancarkan lewat kesalihan prilaku para pemeluknya.
Wallahu a'lam bi as shawab
[1]
Mengambil dari hadits –sebagai sumber kedua dari hukum Islam– kiranya pantas
untuk dikaji ulang berkenaan dengan periwayatan, redaksional, dan korelasinya
dengan Al-Qur’an.
[2] Mu’jam Mufharas Li Alfadz Al Hadits:1 Hlm. 24
“dengan menggunakan ‘clue’ lafadz اخذdisana
tertulis bahwa hadits ini mempunyai dua ‘bentuk’ ((خ
إستقراض 2 – ق صدقات 11”
[3] Sohih bukhori:
vol.1, bab إستقراض Hlm 82
[4] kredibilitas para
perawi diambil dari Ruwat At Tadzhibin, Maktabah Syamilah
[5] Muhammad
Ma’shum Zainy, Zubdatul ‘Ilmi. Hlm. 96
[6] As Suyuthiy,
At Tadrib al Rawiy. Hlm. 147
[7] “Tinggalkan apa yang membuatmu ragu kepada apa
yang tidak membuatmu ragu, sebab kedustaan itu meragukan dan kejujuran itu
menenangkan.”(HR. At-Turmudzi)
[8]
At-Taubah Ayat 119
[9] Bahkan redaksi
hadits milik Imam Bukhori serupa dengan yang diriwayatkan oleh Imam ahmad.
Lihat “Al-Hadits As Syarif”,
hadits ke 8378 Imam Ahmad.
[11] Tim Departemen
Agama (Al-Qur’an dan Terjemahan, Pustaka Maghfirah. Jakarta) Hlm. 206
[12]
Kamus Al-Munawwir Arab-Indo, Hlm 770
Tidak ada komentar:
Posting Komentar