1. DATA BUKU
Judul
buku :
AROK DEDES
Pengarang :Pramoedya
Ananta Toer
Penerbit :
Lentera Dipantara
Tahun
Terbit :
Cetakan I tahun 1999
Cetakan
VI Tahun 2009 Kota Terbit :
Jakarta
Jumlah
halaman :
561
Harga
:
Rp. 80.500
2. BIOGRAFI
PENGARANG
Pramoedya
Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Hampir separuh
hidupnya dihabiskan didalam penjara -– sebuah wajah semesta yang paling purba
bagi manusia-manusia bermartabat: tiga tahun dalam penjara Kolonial, satu tahun
di Orde Lama, dan empat belas tahun yang melelahkan di Orde Baru (13 Oktober
1965-Juli 1969, pulau Nusa-kambangan Juli 1969-16 Agustus 1969, pulau Buru
Agustus 1969-12 November 1979, Magelang/Banyumanik November-Desember 1979)
tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer
mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam
G30S PKI tetapi masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara
sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali dalam
seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba
ini, diantaranya Tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Penjara tak membuatnya berhenti
sejengkalpun menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan
ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh. Berkali-kali karyanya
dibuang dan dibakar.
Dari tangannya yang dingin telah
lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan lebih dari 42 bahasa asing. Karena
kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugrahi
pelbagai penghargaan internasional, di antaranya: The PEN Freedom-to-write Award
pada 1988, Ramon Magsaysay Award pada 1995, Fukoka Culture Grand Price, Jepang
pada tahun 2000, tahun 2003 mendapatkan penghargaan The Norwegian Authours
Union dan tahun 2004 Pablo Neruda dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo
Lagos Escobar. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia
yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Beliau meninggal pada tanggal 30 April 2006 dan dikebumikan di Jakarta.
3. SINOPSIS
Arok
Dedes, adalah roman yang menolak seluruh dongengan dan mistika yang menyelimuti
cerita dimana nyaris seluruh daya-sadar masyarakat Indonesia pernah menaggapnya
karena masuk dalam silabus buku-buku sejarah diniyah. Di tangan Pram (sapaan
akrab Pramodya Ananta Toer), sejarah awal abad 13 itu, seluruh mistika yang
menyertai jatuhnya Tumapel, dicerbut, ditelanjangi, dibersihkan. Dari yang
irasional (kutukan keris Empu Gandring tujuh turunan) diluruhkan. Dan
berubahlah cerita Arok-Dedes yang terkenal itu menjadi cerita politik yang
menggetarkan sekaligus mendebarkan. Ini roman politik seutuhnya.
Berkisah tentang kudeta pertama yang
terjadi di bumi Nusantara, kudeta ala Jawa. Kudeta yang merangkak dari bawah
menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian
kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik namun cerdik. Kudeta berdarah-darah,
tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada dan mendapatkan penghormatan
setinggi-tingginya.
Pada tahun 1215, Temu seorang bocah berumur
belasan, dikemudian hari dikenal dengan nama Arok, telah mengorganisir
perlawanan secara tidak sadar terhadap Tunggul Ametung Akuwu Tumapel. Dalam
waktu lima tahun ia telah menjadi pemuda berumur duapuluh tahun, tlah menjelma
menjadi seorang taktikus perang cerdik yang mengubah cara berperang gaya Hindu di
Jawa, ia juga menjadi seorang polotikus dan juga negarawan dengan gayanya
sendiri.
Melibatkan gerakan militer (Gerakan
Empu Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam bilik agung Tunggul
Ametung. Tak ada kawan maupun lawan, yang ada hanya kegelisahan akan siapa yang
dapat Tunggul Ametung percayai. Mengorganisir paramiliter (begundal-begundal
dan jajaro), dan memperpanas perkubuan. Aktor-aktornya bermain bekerja seperti
hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti yang sahih bagi penguasa
(Akuwu Tunggul Ametung dan para Patih-Patihnya) untuk dapat menyingkirkannya.
Arok adalah simbol dari gabungan
antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari
kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggal tanah
Jawa). Mula-mula, didekatinya para intelektual dan kaum moralis (brahmana)
untuk mendapatkan legitimasi bahwa usaha kudetanya legal. Karena betapa pun
kekuasaan politik, selaluh butuh legitimasi - baik legitimasi agama (sesembahan
dewa-dewi) maupun legitimasi sejarah dan identitas (kekastaan, asal-usul).
Arok mendapatkan semua legitimasi
itu untuk mengukuhkan diri sebagai penyelamat rakyat dari politik yang
dijalankan oleh orde Tunggul Ametung secara sewenang-wenang. Arok juga
menggunakan jalinan kisah cintanya bersama paramesywari Tumapel (Dedes) untuk
memuluskan jalannya menuju tampuk kekuasaan. Arok tak mesti memperlihatkan
tangannya yang berlumuran darah mengiringi jatuhnya Tunggul Ametung di Bilik
Agung Tumapel, karena politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik
adalah permainan catur diatas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan,
ketegaan melemparkan umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada
kawan maupun lawan, yang ada hanyalah tujuan akhir: puncak dari kekuasaan itu
sendiri; tahta dimana hasrat bisa diletupkan sejadi-jadi yang diinginkan.
Pada
akhirnya roman Arok Dedes menggambarkan peta kudeta politik yang kompleks yang
“disumbang” Jawa untuk Indonesia.
4.
ANALISIS BUKU
4.
1 BAHASA
Jika ditelisik lebih dalam dari
bahasa yang digunakan Pram dalam menceritakan kembali roman Arok-Dedes
versinya, memang agak berbeda dengan yang biasa kita temui, karakteristik dari
setiap peran mempunyai bahasanya sendiri-sendiri, disinilah kehebatan Pram
dalam membangun sebuah karakter lewat bahasa penuturan dari setiap lakonnya
yang amat berbeda, seorang yang berkasta Sudra tidaklah sama gaya berbahasanya
dengan seseorang yang berkasta Brahmana. Pram mempunyai ‘bahasa’ sendiri dikala
ia membuat cerita dan menghadirkannya didepan alam imajinasi kita. Emosi yang
keluar dari salah satu tokoh pun tidak mesti sama dengan luapan emosi tokoh
yang lain. Walaupun banyak kata-kata yang tidak sesuai dengan EYB, namun
setidaknya dengan penjelmaan tokoh lewat bahasanya cukup membuat kita
terperangah lewat kekayaan bahasa yang Pram suguhkan.
4.
2 SISTEMATIKA
Sistematika pembahasan Dedes-Arok, Pramoedya
menggunakan sistematika pembahasan
deskriptif-analisis
berdasarkan tinjauan aspek strata
sosial, agama, dan politik. Pramoedya mengisahkan perjalanan yang dilakukan
Temu (Arok kecil), kisah asmaranya bersama dua orang wanita sekligus; Umang
(teman kecilnya) dan Dedes Paramesywari kerajaan Tumapel. Sampai Arok
mendapatkan apa yang ia impikan;
berkuasa penuh atas kerajaan Tumapel.
4.
3 LAYOUT
Layout cover buku ini cukup
menarik; didepan beberapa Pura/Candi seorang pemuda gagah berpakaian ala
kesatria Jawa, bercelana tanggung, tanpa baju, hanya kalung yang melingkar di
lehernya sambil menghunuskan sebuah keris, satu keris lagi masih tersimpan disela
selendang yang ia kenakan, tanpa memperdulikan riuh parajurit yang
membelakanginya. Sementara itu dibelakang pemuda tadi para prajurit dengan
gagah berani membawa tameng, tombak, pedang, dan alat-alat perang lainnya
berlalu-lalang walaupun sebagian dari mereka tampak bingung dengan yang terjadi
didepannya, salah satunya prajurit berkumis menatap sinis sang pemuda, entah
apa yang ia fikirkan. Bertuliskan AROK DEDES berwarna merah dengan list putih,
mungkin ini menggambarkan pertumpahan darah yang terjadi waktu itu namun
dibalut dengan rapih oleh sang kreator peperangan tanpa harus merusak sucinya
warna putih.
4.
4 MANFAAT
Bagi para pemerhati cerita-cerita
dongengan tanah Jawa, namun kurang begitu percaya dengan ha-hal yang berbau
irasional buku ini cukup menarik untuk dikupas. Karena Pramoedya dapat
memberikan kita “sesuatu” yang berbeda dan belum pernah kita fikirkan
sebelumnya. Tentang keadaan yang belum terbayangkan, peta perpolitikan yang
sering terjadi dewasa ini, jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan bayang-bayang
sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat belum terbesit, ternyata sudah pernah
dialami oleh “embrio” bangsa ini. Memang politik tak selalu ramah bagi
pemeluknya, seringkali kita terdorong untuk selalu berada didepan mengalahkan
yang lain. Namun tanpa disadari langkah kita tak jarang mengusik jejak orang
lain dan itu pun di halalkan demi satu kata; pemimpin tertinggi. Inilah potret
bangsa Indonesia pada abad ke 13 jauh sebelum mengenal gaya berpolitik era orde
lama, orde baru, dan pasca reformasi sekarang ini.
4.
5 KELEMAHAN BUKU
Pengemasan ulang kisah Arok-Dedes
dan disuguhkan dalam bentuk yang jauh berbeda dari yang biasa kita dengar,
tentu saja mengakibatkan beberapa dampak negatif bahkan mengakibatkan
pergeseran budaya untuk kalangan tertentu. Dengan rasionalisasi tentu saja akan
menghasilkan pola pemikiran yang berbeda pula pada kalangan masyarakat dalam
memaknai kisah Arok-Dedes ataupun keris empu gadring yang dulu dikenal “angker”
dengan kutukan tujuh turunannya akan menjadi biasa saja. Bermula dari kisah
ini, kemudian orang akan mencari “hal baru” untuk memuaskan hasrat tentang
kisah-kisah sejarah yang menurut mereka irasonal agar menjadi rasional. Lalu
terkikisnya warisan budaya Indonesia dalam bentuk cerita-cerita adat, asal
muasal suatu tampat tentu saja tidak bisa terelakkan lagi, semuanya akan
menjadi semu, bahkan kelabu lalu terbang seperti abu meninggalkan tempat
asalnya. Saat sesuatu yang irasional sudah tidak lagi diindahkan, upacara adat
pun akan menjadi korban, karena sering kali upacara adat “menentang” hal-hal
yang berbunyi rasional. Mudah-mudahan ini hanya analisa yang berlebihan dari
penulis, karena bagaimanapun juga penulis yakin bahwa Pramoedya tidak
sedikitpun berfikir ke arah itu.
5. KESIMPULAN
Buku Arok-Dedes
karya Pramoedya Ananta Toer ini cukup menantang untuk kita nikmati. Khususnya
untuk para penikmat karya-karya Pramoedya, buku ini sungguh berbeda dengan
buku-buku yang lain. Dimana didalamnya terdapat alur cerita yang menggetarkan,
membuat kita penasaran, dan lagi sering kali mematahkan gambaran kita akan
roman Ken Arok dan Ken Dedes sebagai pemeran utamanya. Bagaimanapun juga dari
tangan dingin Pram dan kekuatan alam imajinya seolah dia telah jauh melampaui
zamannya dan kembali untuk menceritakan apa yang terjadi dalam roman Arok-Dedes
dilihat dengan kacamata rasionalya.
Lewat bukunya, Pram membawa kita
jauh menjelajahi tanah Jawa yang masih perawan, melewati hutan rimba ditengah
gelapnya malam, menyusuri sungai brantas yang terkenal dengan pembantaian PKI
pada sejarah awal kemerdekaan. Dengan bahasa yang apik Pram mengemas kisahnya
seolah ia hadir disana kemudian hidup lagi untuk menceritakannya, dimana setiap
jengkal dari roman ini begitu detail diungkapkan tanpa ada yang tersisa.
Bersetting
di tanah Jawa pada abad ke 13 Cerita ini berlatar belakang konflik
agama-sosial-politik yang terjadi di Kerajaan Tumapel dibawah kekuasaan
Kerajaan Kediri. Mengenal para jajaro yang setia terhadap tuannya walaupun
harus dipotong lidahnya, dahsyatnya kekuatan pasukan khusus Empu Gandring
menunggu perintah dititahkan., dan kekuatan berfikir sang pemeran utama Arok
adalah hal yang paling menarik disini.
Akhirnya
roman Arok-Dedes adalah roman rasional seutuhnya, yang lahir dari tangan Pramodya
Ananta Toer dengan proses yang cukup panjang. Mencerabut segala sesuatu yang
berbau irasional (kutukan keris empu gandring tujuh turunan) sampai ke tangan
pembacanya. Dan roman Arok-Dedes
menggambarkan
peta kudeta politik yang kompleks yang “disumbang” tanah Jawa Untuk Indonesia.
dibuat dan dibaca sekitar tiga tahun kemarin, :)
BalasHapusBang, izin copy fotonya ya.
BalasHapusBuat foto di blog saya.
Bukan untuk kepentingan komersil kok.
Ini blog saya kataabsurd.wordpress.com
Kak masih ada ?
BalasHapus