Jumat, 08 Maret 2013

Pengaruh Filsafat Yunani terhadap Pemikir Islam (Abu Yusuf Yaqub Al Kindi)



               Seiring dengan penerjemahan buku –dalam skala kecil– dari beberapa cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari bahasa asing kedalam bahasa Arab yang dilakukan pada masa Daulah Umayyah yang disponsori oleh Khalifah Khalid ibn Yazid, kemudian pada puncaknya penerjemahan secara besar-besaran hingga didirikannya sebuah lembaga khusus (Bait Al-Hikmah), dilakukan pada masa Khalifah Al-Ma’mun (Daulah Abbasiyah) termasuk didalamnya dilakukan penerjemahan buku-buku  filsafat Yunani.  Setidaknya hal ini banyak mempengaruhi beberapa pemikir Islam yang mendalami ilmu “luar” yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
               Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq Ibn Al-Shabbah Ibn Imran ibn ibn Muhammad ibn Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindi (801-866 M). Atau biasa kita kenal dengan sebutan Al-Kindi termasuk salah satu tokoh yang ikut serta dalam proyek penerjemahan yang dititahkan oleh Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan  beliau juga dikenal sebagai seorang filusuf muslim pertama keturunan Arab. Beliau lahir di Kuffah sekitar 185 H/ 801 M dan wafat sekitar tahun 252H/ 866 M.
               Terlihat Filsafat Yunani mempengaruhi pola fikir Al-Kindi, salah-satunya saat beliau memadukan ) تلفيق perpaduan) antara agama dan filsafat, dalam konsepsi pemikirannya bahwa berfilsafat tidak bertentangan dengan agama, karena filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of the truth) dan agama yang diwakili oleh Al-Qur’an membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat, oleh karena itu berfilsafat/mempelajarinya tidak dilarang, karena agama dan filsafat mempunyai tujuan yang sama yakni kebaikan dan kebenaran. Menurutnya siapapun yang menolak filsafat dapat digolongkan sebagai “kafir”, karena sudah jelas bahwa ia mengingkari kebenaran, kendatipun ia merasa dirinya paling benar. Pengetahuan tentang kebenaran –termasuk yang dihasilkan filsafat– berkenaan dengan kebenaran tentang Tuhan, segala sesuatu yang baik dan berguna dan juga sebagai alat untuk menjauhi laranganNYA dan menjalankan perintahNYA. Adalah kebenaran yang harus disambut baik kedatangannya, darimanapun  itu datangnya. Bukan malah menjauhi atau bahkan menolaknya.
               Jiwa (roh) menurut Al-Kindi, adalah qadim namun qadimnya jiwa dengan qadimnya Tuhan berbeda, karena jiwa diciptakan oleh Tuhan oleh karena itu qadimnya jiwa pun diciptakan oleh Tuhan. Kemudian jiwa adalah sesuatu yang tidak tersusun, sempurna, penting dan mulia, roh bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan, dimana sama halnya dengan hubungan cahaya dengan matahari. Sedangkan jisim (raga/badan) mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Al-Kindi memberikan perbandingan tentang keadaan jiwa, jika kemuliaan jiwa diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenangan jasmani, maka dibandingkan denga babi. Kemudian apabila dorongan nafsu-birahi yang lebih dominan maka Al-Kindi membandingkannya dengan anjing. Antara jiwa dan jisim kendatipun berbeda namun saling berberhubungan dan dibutuhkan keseimbangan diantara keduanya agar hidup manusia menjadi serasi dan seimbang. Ketidakseimbangan terjadi apabila salah satu dari unsur diatas berkuasa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan tuntunan untuk mencapai keserasian dan keseimbangan dalam hidup. Tuntunan ini disebut oleh Al-Kindi adalah iman dan Wahyu. Dari sini dapat dilihat pengaruh Filsafat Yunani yang diadopsi oleh Al-Kindi, atau lebih tepatnya pemikiran Plato, walaupun tidak semua “gagasan” Plato diamini oleh Al-Kindi.
               AL-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya; daya bernafsu , daya pemarah, dan daya berfikir(القوة السهوانية, القوةالغضبية, القوةالعقلية) . Kemudian daya berfikir ini disebut sebagai akal, dan akal terbagi menjadi;
1.      Akal yang bersifat potensial ((الذي بالقوة
2.      Akal yang telah keluar dari sifat potensial dan menjadi akal aktual                                  (الذي يخرج من القوة الى  الفعل)
3.      Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas  (الذي نسمية الثانى)
4.      Akal yang selamanya dalam aktualitas[1] (العقل الذى بالفعل ابدا)
               Jiwa dalam konsep Al-Kindi tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuan yang sempurna apabila ia masih bersama dengan badan, perpisahan antara jiwa dan badan membuat jiwa menemukan kebahagiaan pengetahuan yang sempurna, karena ia dapat pergi ke alam kebenaran atau alam akal didalam lingkungan cahaya dekat dengan Tuhan dan dapat bertemu denganNYA.
               Kemudian pada pembahasan moral, Al-Kindi menekankan bahwa manusia secara umum dan yang mempelajari filsafat hendaknya mempunyai perangai yang baik pula, sebagaimana filsafat yang megagungkan sebuah kebenaran. Idealnya para pencari kebaikan menapaki jalan yang dilaluinya –sesuai dengan tujuannya– dengan melaksanakan kebaikan atau tepatnya menempuh hidup susila. Baginya hikmah pengetahuan semata-mata dengan pelaksanaanya dalam dunia realita. Kebijaksanaan dicari bukan hanya untuk dirinya pribadi, melainkan yang dapat “dikonsumsi” oleh banyak orang.
               Dari sekilas beberapa konsepsi pemikiran Al-Kindi diatas, penulis dapat melihat bahwa hasil dari beberapa pemikiran yang dihasilkan oleh Al-Kindi memang tidak dapat terlepas dari pengaruh buku-buku Filsafat Yunani yang dipelajarinya. Beliau mencoba untuk “melegalkan” filsafat sebagai salah satu cabang ilmu yang bisa mengantarkan para pelakunya menuju kebenaran maupun kebaikan yang sejati ((الحق, dengan tegas beliau memaparkan argumentasi yang meyakinkan akan kebaikan berfilsafat dengan didasari keimanan, karena akal bagaimanapun juga membutuhkan keseimbangan dalam perjalannya mencari kebenaran, dimana keseimbangan yang dimaksud adalah dengan beriman dan menjadikan wahyu sebagai sesuatu yang tinggi –bukan ter– diatas akal. Dimana kebenaran yang terkandung didalam wahyu adalah kebenaran yang “instan” sedangkan kebenaran yang dihasilkan dengan jalan berfilsafat disertai keimanan akan memberikan hasil yang lebih “matang”.   


Wallahu a’alam bi shawab


[1] Akal yang selamanya dalam aktualitas ini yang menggerakkan potensial menjadi aktual, ia berbeda dari ketiga akal diatasnya, karena ia berada diluar roh manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar