Seiring dengan penerjemahan buku –dalam skala kecil– dari beberapa cabang ilmu
pengetahuan yang berasal dari bahasa asing kedalam bahasa Arab yang dilakukan
pada masa Daulah Umayyah yang disponsori oleh Khalifah Khalid ibn Yazid,
kemudian pada puncaknya penerjemahan secara besar-besaran hingga didirikannya
sebuah lembaga khusus (Bait Al-Hikmah), dilakukan pada masa Khalifah
Al-Ma’mun (Daulah Abbasiyah) termasuk didalamnya dilakukan penerjemahan
buku-buku filsafat Yunani. Setidaknya hal ini banyak mempengaruhi
beberapa pemikir Islam yang mendalami ilmu “luar” yang telah diterjemahkan
kedalam bahasa Arab.
Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq Ibn Al-Shabbah Ibn Imran ibn ibn Muhammad ibn
Al-Asy’as ibn Qais Al-Kindi (801-866 M). Atau biasa kita kenal dengan sebutan
Al-Kindi termasuk salah satu tokoh yang ikut serta dalam proyek penerjemahan
yang dititahkan oleh Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan beliau juga
dikenal sebagai seorang filusuf muslim pertama keturunan Arab. Beliau lahir di
Kuffah sekitar 185 H/ 801 M dan wafat sekitar tahun 252H/ 866 M.
Terlihat Filsafat Yunani mempengaruhi pola fikir Al-Kindi, salah-satunya saat
beliau memadukan )
تلفيق perpaduan) antara agama dan filsafat, dalam konsepsi pemikirannya
bahwa berfilsafat tidak bertentangan dengan agama, karena filsafat adalah
pengetahuan yang benar (knowledge of the truth) dan agama yang diwakili
oleh Al-Qur’an membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak
mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat, oleh karena itu
berfilsafat/mempelajarinya tidak dilarang, karena agama dan filsafat mempunyai
tujuan yang sama yakni kebaikan dan kebenaran. Menurutnya siapapun yang menolak
filsafat dapat digolongkan sebagai “kafir”, karena sudah jelas bahwa ia
mengingkari kebenaran, kendatipun ia merasa dirinya paling benar. Pengetahuan
tentang kebenaran –termasuk yang dihasilkan filsafat– berkenaan dengan
kebenaran tentang Tuhan, segala sesuatu yang baik dan berguna dan juga sebagai
alat untuk menjauhi laranganNYA dan menjalankan perintahNYA. Adalah kebenaran
yang harus disambut baik kedatangannya, darimanapun itu datangnya. Bukan
malah menjauhi atau bahkan menolaknya.
Jiwa (roh) menurut Al-Kindi, adalah qadim namun qadimnya jiwa
dengan qadimnya Tuhan berbeda, karena jiwa diciptakan oleh Tuhan oleh
karena itu qadimnya jiwa pun diciptakan oleh Tuhan. Kemudian jiwa adalah
sesuatu yang tidak tersusun, sempurna, penting dan mulia, roh bersifat
spiritual, Ilahiah, terpisah dan berbeda dengan tubuh. Substansi roh berasal
dari substansi Tuhan, dimana sama halnya dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Sedangkan jisim (raga/badan) mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah.
Al-Kindi memberikan perbandingan tentang keadaan jiwa, jika kemuliaan jiwa
diingkari dan tertarik kepada kesenangan-kesenangan jasmani, maka dibandingkan
denga babi. Kemudian apabila dorongan nafsu-birahi yang lebih dominan maka Al-Kindi
membandingkannya dengan anjing. Antara jiwa dan jisim kendatipun berbeda namun
saling berberhubungan dan dibutuhkan keseimbangan diantara keduanya agar hidup
manusia menjadi serasi dan seimbang. Ketidakseimbangan terjadi apabila salah
satu dari unsur diatas berkuasa. Oleh karena itu, manusia membutuhkan tuntunan
untuk mencapai keserasian dan keseimbangan dalam hidup. Tuntunan ini disebut
oleh Al-Kindi adalah iman dan Wahyu. Dari sini dapat dilihat pengaruh Filsafat
Yunani yang diadopsi oleh Al-Kindi, atau lebih tepatnya pemikiran Plato,
walaupun tidak semua “gagasan” Plato diamini oleh Al-Kindi.
AL-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga daya; daya bernafsu , daya pemarah, dan daya berfikir(القوة السهوانية, القوةالغضبية,
القوةالعقلية) . Kemudian daya
berfikir ini disebut sebagai akal, dan akal terbagi menjadi;
1. Akal yang bersifat
potensial ((الذي
بالقوة
2. Akal yang telah keluar
dari sifat potensial dan menjadi akal aktual
(الذي يخرج من القوة الى الفعل)
3. Akal yang telah mencapai
tingkat kedua dari aktualitas (الذي نسمية الثانى)
Jiwa dalam konsep Al-Kindi tidak mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan
pengetahuan yang sempurna apabila ia masih bersama dengan badan, perpisahan
antara jiwa dan badan membuat jiwa menemukan kebahagiaan pengetahuan yang
sempurna, karena ia dapat pergi ke alam kebenaran atau alam akal didalam
lingkungan cahaya dekat dengan Tuhan dan dapat bertemu denganNYA.
Kemudian pada pembahasan moral, Al-Kindi menekankan bahwa manusia secara umum
dan yang mempelajari filsafat hendaknya mempunyai perangai yang baik pula,
sebagaimana filsafat yang megagungkan sebuah kebenaran. Idealnya para pencari
kebaikan menapaki jalan yang dilaluinya –sesuai dengan tujuannya– dengan melaksanakan
kebaikan atau tepatnya menempuh hidup susila. Baginya hikmah pengetahuan
semata-mata dengan pelaksanaanya dalam dunia realita. Kebijaksanaan dicari
bukan hanya untuk dirinya pribadi, melainkan yang dapat “dikonsumsi” oleh
banyak orang.
Dari sekilas beberapa konsepsi pemikiran Al-Kindi diatas, penulis dapat melihat
bahwa hasil dari beberapa pemikiran yang dihasilkan oleh Al-Kindi memang tidak
dapat terlepas dari pengaruh buku-buku Filsafat Yunani yang dipelajarinya. Beliau
mencoba untuk “melegalkan” filsafat sebagai salah satu cabang ilmu yang bisa
mengantarkan para pelakunya menuju kebenaran maupun kebaikan yang sejati ((الحق, dengan tegas beliau memaparkan
argumentasi yang meyakinkan akan kebaikan berfilsafat dengan didasari keimanan,
karena akal bagaimanapun juga membutuhkan keseimbangan dalam perjalannya
mencari kebenaran, dimana keseimbangan yang dimaksud adalah dengan beriman dan
menjadikan wahyu sebagai sesuatu yang tinggi –bukan ter– diatas akal. Dimana
kebenaran yang terkandung didalam wahyu adalah kebenaran yang “instan”
sedangkan kebenaran yang dihasilkan dengan jalan berfilsafat disertai keimanan
akan memberikan hasil yang lebih “matang”.
Wallahu a’alam bi shawab
[1]
Akal yang selamanya dalam aktualitas ini yang menggerakkan potensial menjadi
aktual, ia berbeda dari ketiga akal diatasnya, karena ia berada diluar roh
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar