Rabu, 06 Maret 2013

Studi Kitab Hadis: Sohih Muslim



Pendahuluan
 
1. Latar belakang
            Umat Islam meyakini ada dua rujukan pokok untuk istinbat al hukmi (pengambilan hukum) dalam menentukan keabsahan ‘amaliyah yang biasa mereka kerjakan. Sumber pertama adalah al Qur’an, karena ia adalah wahyu Allah, maka sepantasnya al Qur’an menjadi rujukan pertama dalam hierarki istinbat al hukmi. Kemudian ada sunnah nabi, sunnah nabi menempati posisi kedua melihat kapasitasnya yang “bukan wahyu Allah”, melainkan cerminan dari tingkah-laku utusan Allah (nabi/rasul). Walaupun begitu, segala macam perbuatan yang dilakukan nabi/rasul diyakini merupakan “dalil” lain yang dapat dijadikan sebagai pijakan hukum, hal ini dinisbatkan pada posisi nabi/rasul yang “tidak mungkin” melakukan kesalahan karena senantiasa selalu diarahkan langsung oleh Allah SWT ketika nabi melakukan kesalahan.
            Sebagian besar sunnah nabi dipercaya termanifestasikan dalam hadis atau dalam kata lain, teks hadis adalah kendaraan dari sunnah nabi. Urgensi dari autentifikasi hadis pun menjadi semakin ditekankan ketika ia dihadapkan dalam ‘memahami’ wahyu Allah[1]. Melihat begitu kompleks dan panjangnya perjalanan sunah nabi yang ‘terbukukan’ menjadi hadis, para ulama ahli hadis memiliki cara tersendiri dalam mengklasifikasikan autentifikasi hadis yang kemudian tertuang dalam kitab-kitab hadis karya mereka[2]. Sebut saja beberapa kitab kanonik (kutub at sittah) yang menjadi rujukan umat muslim berkenaan dengan hadis, dari sekitar enam kitab kanon hadis ada dua diantaranya yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya, pertama, kitab hadis yang diyakini memiliki autentifikasi mendekati sempurna adalah kitab hadis karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza Al Bukhari (Jami’ Sohih Bukhari), hal ini dinisbatkan pada kitab hadis karya Imam Bukhari salah satunya alasannya adalah karena dalam perjalanan sejarah pengkodifikasian hadis, beliau dikenal menjadi orang pertama yang menerapkan kritik sanad dan matan hadis sebagai syarat mutlak sebuah teks hadis dapat dinilai keabsahannya dan bersumber dari Rasulallah Saw[3]. Kitab hadis kedua yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya adalah karya Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisaburi atau biasa dikenal dengan Imam Muslim(Sohih Muslim). Setelah minggu lalu telah dikupas tentang kitab hadis karya Imam Malik dan Imam Bukhari oleh kelompok pertama dan kedua, dalam makalah kali ini penulis akan coba ‘mengupas’ kitab hadis karya Imam Muslim tentunya dari berbagai sudut pandang yang penulis ketahui berkenaan dengan kitab hadis yang satu ini, baik dari biografi, kemudian latar belakang penulisan, metode penyusunan yang digunakan oleh imam Muslim dalam menuliskan kitabnya,  sistematika penulisan hingga komentar para tokoh tentangnya.
2. Rumusan Masalah
            Dari sedikit pemaparan diatas, rumusan masalah yang dapat diambil menjadi pokok pembahasan yang akan disampaikan antara lain:
            a. Siapakah sosok Imam Muslim?
            b. Bagaimana latar belakang penulisan kitab Sohih Muslim
            c. Bagaimana metode penyusunan kitab Sohih Muslim
            d. Bagaimana sistematika penulisan kitab Sohih Muslim
            e. Bagaimana komentar serta penilaian ulama atas kitab Sohih Muslim
3. Tujuan Penulisan
            Setidaknya ada beberapa poin yang menjadi konsentrasi dari tujuan penulisan makalah ini, pertama, minimal dapat mendeskripsikan biografi dari tokoh pengarang kitab Sohih Muslim. kedua, dapat mengetahui latar belakang dari penulisan kitab Sohih Muslim. ketiga, mengetahui metode penulisan dari kitab Sohih Muslim. keempat, mengetahui sistematika penulisan kitab Sohih Muslim. Terakhir, kelima, dapat mengetahui sebagian pendapat atau kometar para ulama berkenaan dengan  kitab Sohih Muslim.


4. Manfaat Penulisan
            Seburuk apapun hal yang ada di dunia, penulis yakini memiliki manfaat walaupun dengan kadar yang sangat kecil, demikian pula dengan makalah ini setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diambil minimal bagi penulis sendiri atau bagi pembacanya. Diantaranya adalah sebagai proses pembelajaran yang erat kaitannya dalam hal tafaqquh fi ad din, sebagai proses pengembangan kreatifitas akademik yang berada dalam ruang lingkup kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Pembahasan

1.      Sekilas Biografi Imam Muslim
           
            Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi  bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi adalah nama lengkap dari Imam Muslim, beliau dinisbatkan dengan kota Naisabur dimana beliau dilahirkan disana, sebuah kota kecil di sebelah timur laut Negara Iran (sekarang). Terdapat perbedaan pendapat berkenaan dengan tahun kelahiran beliau[4], namun menurut pendapat yang kuat, Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H/802 M[5].
            Pengembaraan Imam Muslim dalam menimba ilmu dimulai sejak usianya menginjak 15 tahun, dalam perrjalanan ke beberapa tempat beliau berguru pada tokoh-tokoh besar kala itu, sebut saja Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah (Irak), Ahmad Bin Yunus (Kuffah), Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih (Khurasan), Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan (Ray), ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya (Mesir), Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar (Hijaz), Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah, Syaiban bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ajli, Qutaibah bin Sa’id dan beberapa ulama dan muhadditsin lain[6].
            Selain dikenal banyak mempunyai guru dari beberapa Negara dalam rihlah ilmiyahnya, imam Muslim pun dikenal banyak mempunyai murid dalam hal meriwayatkan hadits darinya, sebut saja Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain[7]
            Dari kejeniusan dan tangan dingin imam Muslim telah terlahir banyak karya-karya dalam bentuk tulisan, selain kitab Sohih Muslim yang monumental, beberapa karya imam Muslim diantaranya adalah: Al-Musnad al-Kabir ‘ala al Rijal, Al-Asma wa al-Kuna, Al-‘Ilal, Awham al-Muhadditsin, At-Tamyin, Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid, Al-Thabaqat al-Tabi’in, Al-Muhadramain, Awlad al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-Aqran, Su’alatihi Ahmad bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh al-Sauri, Masyaikh Syu’bah, Masyaikh Malik, Al-Thabaqat, Afrad al-Syamiyin, Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad,  Hadis ‘Amr bin Syuaib,  Rijal ‘UrwahAl-Tarikh dan lain-lain.
            Dari perjalanan panjang hidupnya, rihlah ilmiyah, perjuangannya dalam ‘mencari’ hadis, memberikan kontribusi besar bagi ummat Islam lewat sekian banyak karya, akhirnya pada usia 57 tahun Imam Muslim (rahimahullahu ta’ala) menutup usia, tepatnya pada hari minggu 4 rajab tahun 261 H / 859 M, beliau dikebumikan pada hari senin tanggal 5 rajab tahun 261 H di kota kelahirannya; Naisabur[8].

2.      Latar Belakang Penulisan Kitab Sohih Muslim

            Tidak ada kekosongan yang bisa menjadikan berwujudnya sesuatu, begitupun juga dengan kitab hadis Sohih Muslim. Perseteruan ahl al Ra’y serta ahl al Hadits menjadi salah satu embrio terciptanya kitab hadis. Perseteruan yang dimulai pada abad kedua ini kemudian semakin memuncak pada awal abad ketiga hijriyah. Para pemimpin kurun pertama daulah Abasiyah[9] yang berideologi rasionalis banyak memberikan kontribusi terhadap berkembangnya paham ini, terbukti saat mereka berkuasa terbangunlah sebuah lembaga Bait al Hikmah yang berkonsentrasi pada penerjemahan karya-karya filusuf Yunani kedalam bahasa Arab. Setelah tampuk kekuasaan Daulah Abasiyah berada di tangan Khalifah Mutawakkil (232 H), para penggiat hadis (termasuk didalamnya Imam Muslim) serasa mendapatkan ‘angin segar’ karena konfrontasi dengan penguasa sudah tidak lagi menjadi hal yang menghambat berkembangnya kreatifitas yang berhubungan dengan hadis[10].
            Hal lain yang memicu terbukukannya kitab hadis Sohih Muslim adalah ketika kemajuan dibidang ilmu pengetahuan yang dicapai pada dinasti Abasiyah dibarengi dengan memanasnya konflik yang bernuansa politis oleh beberapa kelompok, dimana tak jarang demi terwujudnya kepentingan, mereka menciptakan hadis palsu sebagai legitimasi dari ‘hajat busuk’ mereka. Tentu saja hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi sebagian besar masyarakat pada saat itu.
            Dengan kata lain, secara garis besar kitab hadis Imam Muslim lahir atas ‘desakan’ kebutuhan masyarakat akan pentingnya otentifikasi hadis dikarenakan banyak bertebaran hadis palsu yang digunakan oleh sebagian kalangan untuk mendukung hasrat ‘politis’nya. Dari satu sisi kehadiran kitab hadis ini menjadi ‘penawar’ akan merebaknya ‘racun’ yang banyak berkembang pada masyarakat kala itu, namun disisi yang lain kitab hadis ini pun dianggap sebagai wujud ‘perlawanan’ para muhadditsin (baca: pemegang hadis) untuk meng-counter hegemoni kaum rasionalis.

3.      Metode Penyusunan dan Penulisan Kitab Sohih Muslim
            Secara eksplisit dalam kitab Sohih Muslim, penulis belum menemukan metodologi yang digunakan oleh imam Muslim dalam menyusun kitab hadisnya. Namun dari beberapa pemaparan ulama ahli hadis, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang digunakan oleh imam Muslim dalam ‘menyaring’ hadis yang kemudian dituliskan dalam kitab hadis karyanya, diantara syarat yang digunakan imam Muslim hasil penelitian para ulama adalah:
 (1) hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat dalam hal hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
 (2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung sanadnya), dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.).
            Metode penulisan kitab Sohih Muslim tergolong rapih. Hal ini dapat dilihat, dari ketelitian dan ‘kreatifitas’ yang beliau tuangkan dalam penyajian kritab hadis ini, misalnya:
a.       menyebutkan rawi-rawi dari beberapa hadis yang mempunyai tema yang sama dengan tanpa memotong satu jalur periwayatan dengan redaksi hadisnya, hanya dipisahkan dengan huruf khâ (ح) yang dicetak tebal sebagai tanda batas satu riwayat disambung dengan jalur riwayat yang lain[11].
b.      Setelah selesai menyebutkan beberapa jalur sanad yang berbeda dari satu tema hadis yang sama, kemudian barulah disebutkan redaksi hadis terkait, atau menyebutkan terlebih dahulu redaksi hadis, baru kemudian disampaikan beberapa jalur periwayatan yang berbeda dari hadis terkait. Hal ini mengakibatkan minimnya pengulangan hadis dalam penyebutannya, kecuali jika dibutuhkan untuk mengulang karena keadaan yang ‘memaksa’ untuk dilakukannya pengulangan.
c.       digunakannya ‘cetak tebal’ pada beberapa cara transmisi hadis, misalnya lafad haddatsana (حدثنا), Akhbarâna (اخبرنا) dan haddatsani (حدثنى) hal ini mengindikasikan adanya ‘perbedaan situasi’ yang perawi alami ketika menerima hadis.


4.      Sistematika Penulisan Kitab Sohih Muslim

Kitab hadis karya Imam Muslim diberi nama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw, namun lebih dikenal dengan Jami al-Sahih atau Sahih Muslim[12]. Sistematika yang digunakan Imam Muslim tergolong sangat baik, ini dapat dilihat dari cara beliau mengklasifikasikan hadis-hadis kedalam tema beasr dalam beberapa bagian yang secara khusus membincang persoalan tertentu. Kitab hadis ini—menurut hemat penulis—sepintas memberikan nuansa fiqh, diawali dengan muqaddimah, kemudian pada bagian pertama (Imam Muslim menyebutnya ‘kitab’) beliau membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadis, disusul dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh (34 bab dan 111 hadis), hâid, shalat dan lain sebagainya, untuk lebih lengkapnya berikut tabel dari sistematika penulisan kitab Sohih Muslim[13].


No

Nama Kitab
Jumlah
Bab
Hadis
.
Muqaddimah
74
-
1
Iman
96
280
2
Taharah
34
111
3
Haid
33
126
4
Shalat
52
285
5
Masajid wa Mawadi’ al-Shalat
56
316
6
Shalat al-Musafirin wa al-Qasriha
56
312
7
Al-Jum’ah
19
73
8
Al-Aidain
5
22
9
Al-istisqa’
5
17
10
Al-Kusufh
5
29
11
Al-Janaiz
37
108
12
Al-Zakat
56
177
13
As-Siyam
40
222
14
Al-I’tikaf
4
10
15
Al-Hajj
97
522
16
An-Nikah
24
110
17
Ar-Rada’
19
32
18
At-Talaq
9
134
19
Al-Li’an
1
20
20
Al-Atq
7
26
21
Al-Buyu’
21
123
22
Al-Masaqah
31
143
23
Al-Faraid
5
21
24
Al-Hibah
4
32
25
Al-Wasiyah
6
22
26
An-Nadzar
5
13
27
Al-Aiman
13
59
28
Al-Qasamah Wa al-Maharibin Wa al-Qishas Wa al-Diyat
11
29
29
Al-Hudud
11
46
30
Al-Aqdiyat
11
21
31
Al-Luqathah
6
19
32
Al-Jihad
51
150
33
Al-Imarah
56
185
34
Asha’id wa al-Dzhabaih wa ma yu’kilu hayawan
12
60
35
Al-Adaha
8
45
36
Al-Asyribah
35
188
37
Al-Libas
35
127
38
Al-Adab
10
45
39
As-Salam
41
155
40
Al-fadhz
5
21
41
Al-Syiir
2
10
42
Ar-Ruyah
5
23
43
Al-Fadail
36
174
44
Fadail as-Sahabah
60
232
45
Al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab
51
166
46
Al-Qadar
8
34
47
Al-Ilmu
6
16
48
Ad-dzkr wa Du’a wa taubah wa Istigfar
27
101
49
At-Taubah
11
60
50
Shifat al-Munafiqin
1
83
51
Al-Jannah wa Shifat Nafsiha wa Ahliha
40
84
52
Al-Fitan wa syarait as Sa’ah
28
143
53
Al-Zuhud wa ar Rafaiq
20
75
54
At-Tafsir
8
34

5.      Pendapat Para Tokoh Tentang Kitab Sohih Muslim

Menurut beberapa tokoh ahli hadis, menyatakan bahwa kitab Sohih Muslim ini memiliki berbagai macam keunggulan, sedikitnya ada enam poin yang bisa dijadikan argumentasi: (1) dari segi susunan isinya tergolong tertib dan sangat sistematis, (2) pemilihan redaksi matan hadisnya sangat teliti dan cermat, (3) proses seleksi dan akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak terjadi tercampurnya satu matan hadis dengan matan hadis yang lain, (4) penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan atau penyebutan Hadis, (5) kitab Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari Hadis dan mengistimbatkan suatu hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai dengan suatu masalah, (6) kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab, sehingga memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada.
Namun dari kelebihan yang dimiliki, kitab hadis ini pun tidak sepi dari kritik yang membangun. Sebutsaja kritik yang dilontarkan oleh sebagian besar ulama ahli hadis yang menempatkan kitab hadis Imam Muslim pada urutan kedua setelah kitab hadis karya Imam Bukhari, hal ini terjadi dikarenakan terlalu longgarnya syarat yang diterapkan oleh imam Muslim dalam menentukan hadis sohih. Dalam kasus penentuan kesahihan hadis, imam Bukhori mensyaratkan harus bertemu (liqâ) antara murid dan guru, sedangkan imam Muslim cenderung ‘mengabaikan’ liqâ sebagai standarisasi hadis sohihnya, tetapi dicukupkan dengan sezaman (mu’asyârah) antara murid dan gurunya[14]. 
Syaikh Ibnu Shalah mengatakan, dalam kitab Sahih Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw, Imam Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang menurutku berkualitas sahih aku letakkan dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam kitab ini hanya hadis-hadis yang kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Syaikh Ibnu Shalah membuat orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat hadis yang kesahihannya diperseisihkan dalam kitab hadis Imam Muslim[15]


Kesimpulan

Dari sekian banyak kitab kanon hadis, para ulama ahli hadis memberikan penilaian bahwa kitab karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza Al Bukhari atau yang lebih dikenal dengan Imam Bukhari, menempati urutan pertama dalam validitas dan otentifikasi hadis yang termuat didalamnya. Hal ini terjadi lebih dikarenakan ‘filterisasi’ Imam Bukhari terhadap hadis-hadis yang dimasukkan kedalam kitab Sahih-nya harus melewati serangkaian seleksi yang sangat ketat baik dari segi matan dan juga sanadnya. Sedangkan kitab hadis karya Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi  bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi: Imam Muslim menempati urutan kedua setelah kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini terjadi karena standarisasi hadis sohih yang dilakukan oleh ImamMuslim tidak ‘se-ketat’ Imam Bukhari.
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi  bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi memulai ‘rihlah ilmiyah-nya’ pada usia 15 tahun, beliau singgah dari  kota ke kota dan beberapa Negara untuk ‘menggali’ ilmu pengetahuan, diantara kota dan negara yang pernah disinggahinya untuk mencari ilmu adalah, Mesir, Irak, Khurasan, Kuffah, Ra’y dan lain-lain. Dari sekian banyak guru yang beliau serap ilmunya, beliau memutuskan untuk membuat sebuah kumpulan hadis sohih yang kemudian dibukukan.
Kitab yang bernama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw atau yang biasa dikenal dengan Sohih Muslim lahir pada kurun Khalifah Mutawakkil berkuasa, Khalifah ke empat dinasti Abasiyah, ditengah kondisi masyarakat ‘terbius’ budaya rasionalis yang dibangun oleh kepemimpinan tiga Khalifah sebelum Mutawakkil. Masyarakat dibawah kepemimpinan dinasti Abasiyah pada awal abad ke tiga ‘hampir lupa’ dengan hadis, ini terjadi karena hegemoni kaum rasionalis serta banyak beredarnya hadis palsu yang dipakai oleh beberapa kelompok untuk memuluskan kepentingan kelompok mereka. Selain menorehkan ‘tinta emas’ lewat kitab Sohih Muslim, Imam Muslim juga mengarang beberapa kitab lain, sebut saja Awlad al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-Aqran, Su’alatihi Ahmad bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh al-Sauri, Masyaikh Syu’bah, Masyaikh Malik, Al-Thabaqat, Afrad al-Syamiyin, Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad,  Hadis ‘Amr bin Syuaib,  Rijal ‘UrwahAl-Tarikh dan lain-lain.
            Metodologi yang dipakai Imam Muslim dalam sohih Muslim nya terringkaskan dalam dua poin berikut (1) hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat dalam hal hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah. (2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung sanadnya), dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.). selain itu metode penulisan kitab ini pun tergolong rapih, hal ini bisa dilihat dari penyampaian Imam Muslim dalam menyampaikan beberapa hadis yang mempunyai tema yang sama dari beberapa redaksi dan sanad dengan cara menggabungkannya menjadi satu (satu redaksi hadis dari beberapa sanad). Penggunaan ‘cetak tebal’ pada cara periwayatan hadis semisal haddatsana (حدثنا), Akhbarâna (اخبرنا) dan haddatsani (حدثنى), hal ini mengindikasikan bahwa adanya ‘perbedaan situasi’ yang dihadapi oleh perawi ketika mendapatkan hadis.
            Sistematika yang digunakan dalam penulisan kitab ini pun tergolong sangat rapih. Imam Muslim membuat tema besar dari berbagai macam bagian yang didalamnya memuat beberapa bab, hal ini memungkinkan para pencari hadis akan dengan mudah mendapatkan hadis yang dicari. Diawali dengan muqaddimah, kemudian pada bagian pertama (Imam Muslim menyebutnya ‘kitab’) beliau membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadis, disusul dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh (34 bab dan 111 hadis), hâid, shalat dan seterusnya.
            Berkenaan dengan pendapat para ulama tentang kitab hadis karya Imam Muslim, mayoritas ulama ‘menganggap’ kitab ini mempunyai beberapa kelebihan, misalnya dari segi susunan isinya tergolong tertib dan sangat sistematis, kemudian pemilihan redaksi matan hadisnya sangat teliti dan cermat, proses seleksi dan akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak terjadi tercampurnya satu matan hadis dengan matan hadis yang lain, penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan atau penyebutan Hadis, kitab Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari Hadis dan mengistimbatkan suatu hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai dengan suatu masalah, kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab, sehingga memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada. Disamping pujian atas karya Imam Muslim ada pula yang mengkritisi karya beliau, seperti yang diungkapkan oleh sebagian besar ulama dan muhadditsin yang mengkritisi ‘standarisasi’ terhadap hadis sohih yang dilakukan oleh Imam Muslim tergolong ‘longgar’ dibandingkan dengan Imam Bukhari. Kritik diatas seakan ‘dipertegas’ oleh Ibnu as Sholah, beliau mengatakan bahwa dalam kitab Sahih Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw, Imam Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang menurutku berkualitas sahih aku letakkan dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam kitab ini hanya hadis-hadis yang kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Ibnu as Shalah membuat orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat hadis yang kesahihannya diperseisihkan dalam kitab hadis Imam Muslim, disamping banyak ‘kritik’ lain yang disampaikan oleh para ulama dan muhadditsin. Setidaknya hal diatas yang mengakibatkan kitab hadis karya Imam Muslim menjadi ter-‘nomor dua’-kan sebagai kitab hadis rujukan setelah al Qur’an. Walaupun sebagian besar ulama dan muhadditsin menempatkan kitab Sohih Muslim pada urutan kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab hadis Imam Bukhari, namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al Hafidz Syaikhul Hakim Abi ‘Abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan pertama diatas kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini setidaknya ditandaskan kepada ‘kejeniusan’ Imam Muslim dalam men-sistematis-kan hadis-hadis dalam kitab karangannya sehingga dapat dengan mudah diakses oleh para ‘pencari hadis’ disamping jarangnya pengulangan penyebutan hadis seperti yang banyak ditemukan pada kitab hadis Sohih Bukhari.
Terlepas dari sanjungan dan kritikan yang disampaikan para muhadditsin dan ulama, dalam pandangan pemakalah, kitab Sahih Muslim adalah salah satu karya agung yang patut diapresiasi se tinggi-tingginya. Bagaimana tidak, dizaman yang belum mengenal komputer, transportasi yang sederhana, alat baca-tulis yang belum secanggih saat ini, Imam Muslim mampu menghadirkan sebuah kitab hadis yang setidaknya terskema dengan baik, banyak mengandung sejarah, keilmuan, dan akidah umat muslim berkenaan ‘berita’ dari nabi Muhammad Saw.
Wallahu A’alam bi as Shawab



[1] Dr. Phil. Kamaruddin M.A, Metode Kritik Hadis (Jakarta, Penerbit Hikmah 2009) hlm 1
[2] Dr. M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta, LKis 2007) hlm 10-13
[3] Lihat. Ibid hlm 11
[4] Menurut Ibn Khalkan, tidak seorangpun mengetahui secara pasti tentang tahun kelahiran Imam Muslim, tetapi kebanyakan dari ulama berpendapat bahwa imam Muslim dilahirkan setelah tahun 200 H. Imam Taqi ad Din abu ‘Amr Utsman atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnu Solah mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 202 H, Ad Dzihabi mengatakan 204 H adalah tahun dilahirkannya Imam Muslim, Ibn Katsir berpendapat bahwa Imam Muslim dilahirkan bertepatan dengan tahun wafatnya Imam As Syafi’i, yakni pada tahun 204 H. Lihat syekh Khalil Ma’mun dalam muqaddimah; al Minhaj syarh Sohih Muslim karya Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) vol 1 hlm 70-71
[5] Ibid hal 70
[6] Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al Muna, 2010), hlm 107.
[7] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003) hlm 60.
[8] . Dinukil dari perkataan Ibn Katsir. Lihat Syekh Khalil Ma’mun dalam Muqaddimah: al Minhaj syarh Sohih Muslim karya Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) hlm 98

[9] Pada permulaan abad ketiga hijriyah, Daulah Abasiyah dipimpin oleh Khalifah al Ma’mun (w.  218 H) kemudian dilanjutkan oleh Khalifah al-Mu’tashim (w. 227 H) dan al-Wasiq (w. 232 H). ketiga khalifah kurun pertama daulah Abasiyah ini mempunyai karakter kepemimpinan ra’yu sebagai ‘ideologi’ pemerintahan, dengan kata lain, ketiga khalifah ini seakan ‘menutup’ ruang gerak para penggiat hadis untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan yang berbasic hadis. Lihat Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003) hlm 63-64
[10] Ibid hal 63
[11] Contoh dapat dilihat pada lampiran
[12] Opcit hal 65
[13] Ibid hal 68-69
[14] Ibid hlm 74-75. Walaupun sebagian besar menempatkan kitab Sohih Muslim pada urutan kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab hadis Imam Bukhari, namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al Hafidz Syaikhul HakimAbi ‘abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan pertama diatas kitab hadis Imam Bukhari. Lihat Imam Nawawi, Terjemah Sahih Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002) hlm 53-54
[15] Imam Nawawi, Terjemah Sahih Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002) hlm 56-57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar