Pendahuluan
1. Latar belakang
Umat Islam
meyakini ada dua rujukan pokok untuk istinbat al hukmi (pengambilan
hukum) dalam menentukan keabsahan ‘amaliyah yang biasa mereka kerjakan.
Sumber pertama adalah al Qur’an, karena ia adalah wahyu Allah, maka sepantasnya
al Qur’an menjadi rujukan pertama dalam hierarki istinbat al hukmi.
Kemudian ada sunnah nabi, sunnah nabi menempati posisi kedua melihat
kapasitasnya yang “bukan wahyu Allah”, melainkan cerminan dari tingkah-laku
utusan Allah (nabi/rasul). Walaupun begitu, segala macam perbuatan yang
dilakukan nabi/rasul diyakini merupakan “dalil” lain yang dapat
dijadikan sebagai pijakan hukum, hal ini dinisbatkan pada posisi nabi/rasul
yang “tidak mungkin” melakukan kesalahan karena senantiasa selalu diarahkan
langsung oleh Allah SWT ketika nabi melakukan kesalahan.
Sebagian besar
sunnah nabi dipercaya termanifestasikan dalam hadis atau dalam kata lain, teks hadis
adalah kendaraan dari sunnah nabi. Urgensi dari autentifikasi hadis pun menjadi
semakin ditekankan ketika ia dihadapkan dalam ‘memahami’ wahyu Allah[1].
Melihat begitu kompleks dan panjangnya perjalanan sunah nabi yang ‘terbukukan’
menjadi hadis, para ulama ahli hadis memiliki cara tersendiri dalam
mengklasifikasikan autentifikasi hadis yang kemudian tertuang dalam kitab-kitab
hadis karya mereka[2].
Sebut saja beberapa kitab kanonik (kutub at sittah) yang menjadi rujukan
umat muslim berkenaan dengan hadis, dari sekitar enam kitab kanon hadis ada dua
diantaranya yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya, pertama,
kitab hadis yang diyakini memiliki autentifikasi mendekati sempurna adalah
kitab hadis karya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza
Al Bukhari (Jami’ Sohih Bukhari), hal ini dinisbatkan pada
kitab hadis karya Imam Bukhari salah satunya alasannya adalah karena dalam
perjalanan sejarah pengkodifikasian hadis, beliau dikenal menjadi orang pertama
yang menerapkan kritik sanad dan matan hadis sebagai syarat
mutlak sebuah teks hadis dapat dinilai keabsahannya dan bersumber dari
Rasulallah Saw[3].
Kitab hadis kedua yang diyakini memuat hadis-hadis autentik didalamnya adalah
karya Abul
Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisaburi atau biasa dikenal dengan Imam Muslim(Sohih Muslim).
Setelah minggu lalu telah dikupas tentang kitab hadis karya Imam Malik
dan Imam Bukhari oleh kelompok pertama dan kedua, dalam makalah kali ini
penulis akan coba ‘mengupas’ kitab hadis karya Imam Muslim tentunya dari
berbagai sudut pandang yang penulis ketahui berkenaan dengan kitab hadis yang
satu ini, baik dari biografi, kemudian latar belakang penulisan, metode
penyusunan yang digunakan oleh imam Muslim dalam menuliskan kitabnya, sistematika penulisan hingga komentar para
tokoh tentangnya.
2. Rumusan Masalah
Dari sedikit
pemaparan diatas, rumusan masalah yang dapat diambil menjadi pokok pembahasan
yang akan disampaikan antara lain:
a. Siapakah sosok Imam
Muslim?
b. Bagaimana latar
belakang penulisan kitab Sohih Muslim
c. Bagaimana metode penyusunan kitab Sohih Muslim
d. Bagaimana sistematika penulisan kitab Sohih Muslim
e. Bagaimana komentar serta penilaian ulama atas kitab Sohih
Muslim
3. Tujuan Penulisan
Setidaknya ada
beberapa poin yang menjadi konsentrasi dari tujuan penulisan makalah ini, pertama,
minimal dapat mendeskripsikan biografi dari tokoh pengarang kitab Sohih
Muslim. kedua, dapat mengetahui latar belakang dari penulisan kitab Sohih
Muslim. ketiga, mengetahui metode penulisan dari kitab Sohih Muslim.
keempat, mengetahui sistematika penulisan kitab Sohih Muslim. Terakhir,
kelima, dapat mengetahui sebagian pendapat atau kometar para ulama berkenaan
dengan kitab Sohih Muslim.
4. Manfaat Penulisan
Seburuk apapun hal
yang ada di dunia, penulis yakini memiliki manfaat walaupun dengan kadar yang
sangat kecil, demikian pula dengan makalah ini setidaknya ada beberapa manfaat
yang dapat diambil minimal bagi penulis sendiri atau bagi pembacanya. Diantaranya
adalah sebagai proses pembelajaran yang erat kaitannya dalam hal tafaqquh fi
ad din, sebagai proses pengembangan kreatifitas akademik yang berada dalam ruang lingkup kampus IAIN Syekh Nurjati
Cirebon.
Pembahasan
1.
Sekilas
Biografi Imam Muslim
Imam Abul Husain Muslim bin
al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi bin
Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi adalah nama lengkap dari Imam Muslim,
beliau dinisbatkan dengan kota Naisabur dimana beliau dilahirkan disana, sebuah
kota kecil di sebelah timur laut Negara Iran (sekarang). Terdapat perbedaan
pendapat berkenaan dengan tahun kelahiran beliau[4],
namun menurut pendapat yang kuat, Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204
H/802 M[5].
Pengembaraan Imam Muslim
dalam menimba ilmu dimulai sejak usianya menginjak 15 tahun, dalam perrjalanan
ke beberapa tempat beliau berguru pada tokoh-tokoh besar kala itu, sebut saja Ahmad
bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah (Irak), Ahmad Bin Yunus
(Kuffah), Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih (Khurasan), Muhammad
bin Mahran dan Abu ‘Ansan (Ray), ‘Amr bin Sawad dan Harmalah
bin Yahya (Mesir), Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’Abuzar
(Hijaz), Usman dan Abu Bakar, keduanya putra Abu Syaibah, Syaiban
bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, Amr an-Naqid, Muhammad
bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Harun bin Sa’id al-Ajli, Qutaibah bin
Sa’id dan beberapa ulama dan muhadditsin lain[6].
Selain dikenal banyak mempunyai guru
dari beberapa Negara dalam rihlah ilmiyahnya, imam Muslim pun
dikenal banyak mempunyai murid dalam hal meriwayatkan hadits darinya, sebut
saja Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin
Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu
Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin
as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid dan masih
banyak lagi murid-muridnya yang lain[7]
Dari kejeniusan dan tangan dingin
imam Muslim telah terlahir banyak karya-karya dalam bentuk tulisan, selain
kitab Sohih Muslim yang monumental, beberapa karya imam Muslim
diantaranya adalah: Al-Musnad al-Kabir ‘ala al Rijal, Al-Asma wa
al-Kuna, Al-‘Ilal, Awham al-Muhadditsin, At-Tamyin, Man
Laisa Lahu illa Rawin Wahid, Al-Thabaqat al-Tabi’in, Al-Muhadramain,
Awlad al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-Aqran,
Su’alatihi Ahmad bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh
al-Sauri, Masyaikh Syu’bah, Masyaikh Malik, Al-Thabaqat,
Afrad al-Syamiyin, Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad, Hadis ‘Amr bin Syuaib, Rijal ‘Urwah, Al-Tarikh dan
lain-lain.
Dari perjalanan panjang hidupnya, rihlah
ilmiyah, perjuangannya dalam ‘mencari’ hadis, memberikan kontribusi besar
bagi ummat Islam lewat sekian banyak karya, akhirnya pada usia 57 tahun Imam
Muslim (rahimahullahu ta’ala) menutup usia, tepatnya pada
hari minggu 4 rajab tahun 261 H / 859 M, beliau dikebumikan pada hari senin
tanggal 5 rajab tahun 261 H di kota kelahirannya; Naisabur[8].
2. Latar Belakang Penulisan Kitab Sohih
Muslim
Tidak ada kekosongan yang bisa
menjadikan berwujudnya sesuatu, begitupun juga dengan kitab hadis Sohih
Muslim. Perseteruan ahl al Ra’y serta ahl al Hadits menjadi
salah satu embrio terciptanya kitab hadis. Perseteruan yang dimulai pada
abad kedua ini kemudian semakin memuncak pada awal abad ketiga hijriyah. Para pemimpin
kurun pertama daulah Abasiyah[9]
yang berideologi rasionalis banyak memberikan kontribusi terhadap berkembangnya
paham ini, terbukti saat mereka berkuasa terbangunlah sebuah lembaga Bait al
Hikmah yang berkonsentrasi pada penerjemahan karya-karya filusuf Yunani
kedalam bahasa Arab. Setelah tampuk kekuasaan Daulah Abasiyah berada di tangan Khalifah
Mutawakkil (232 H), para penggiat hadis (termasuk didalamnya Imam
Muslim) serasa mendapatkan ‘angin segar’ karena konfrontasi dengan penguasa
sudah tidak lagi menjadi hal yang menghambat berkembangnya kreatifitas yang
berhubungan dengan hadis[10].
Hal lain yang memicu terbukukannya
kitab hadis Sohih Muslim adalah ketika kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan yang dicapai pada dinasti Abasiyah dibarengi dengan memanasnya
konflik yang bernuansa politis oleh beberapa kelompok, dimana tak jarang demi
terwujudnya kepentingan, mereka menciptakan hadis palsu sebagai legitimasi dari
‘hajat busuk’ mereka. Tentu saja hal ini menjadi keresahan tersendiri bagi
sebagian besar masyarakat pada saat itu.
Dengan kata lain, secara garis besar
kitab hadis Imam Muslim lahir atas ‘desakan’ kebutuhan masyarakat akan
pentingnya otentifikasi hadis dikarenakan banyak bertebaran hadis palsu yang
digunakan oleh sebagian kalangan untuk mendukung hasrat ‘politis’nya. Dari satu
sisi kehadiran kitab hadis ini menjadi ‘penawar’ akan merebaknya ‘racun’ yang
banyak berkembang pada masyarakat kala itu, namun disisi yang lain kitab hadis
ini pun dianggap sebagai wujud ‘perlawanan’ para muhadditsin (baca:
pemegang hadis) untuk meng-counter hegemoni kaum rasionalis.
3. Metode Penyusunan dan Penulisan
Kitab Sohih Muslim
Secara
eksplisit dalam kitab Sohih Muslim, penulis belum menemukan metodologi
yang digunakan oleh imam Muslim dalam menyusun kitab hadisnya. Namun
dari beberapa pemaparan ulama ahli hadis, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa
syarat yang digunakan oleh imam Muslim dalam ‘menyaring’ hadis yang
kemudian dituliskan dalam kitab hadis karyanya, diantara syarat yang digunakan imam
Muslim hasil penelitian para ulama adalah:
(1) hanya
meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit (kuat
dalam hal hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
(2) hanya
meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil (bersambung
sanadnya), dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.).
Metode
penulisan kitab Sohih Muslim tergolong rapih. Hal ini dapat dilihat, dari
ketelitian dan ‘kreatifitas’ yang beliau tuangkan dalam penyajian kritab hadis
ini, misalnya:
a. menyebutkan rawi-rawi dari
beberapa hadis yang mempunyai tema yang sama dengan tanpa memotong satu jalur
periwayatan dengan redaksi hadisnya, hanya dipisahkan dengan huruf khâ (ح) yang
dicetak tebal sebagai tanda batas satu riwayat disambung dengan jalur riwayat
yang lain[11].
b. Setelah selesai menyebutkan beberapa
jalur sanad yang berbeda dari satu tema hadis yang sama, kemudian barulah
disebutkan redaksi hadis terkait, atau menyebutkan terlebih dahulu redaksi
hadis, baru kemudian disampaikan beberapa jalur periwayatan yang berbeda dari
hadis terkait. Hal ini mengakibatkan minimnya pengulangan hadis dalam
penyebutannya, kecuali jika dibutuhkan untuk mengulang karena keadaan yang
‘memaksa’ untuk dilakukannya pengulangan.
c. digunakannya ‘cetak tebal’ pada
beberapa cara transmisi hadis, misalnya lafad haddatsana (حدثنا), Akhbarâna
(اخبرنا)
dan haddatsani (حدثنى) hal ini mengindikasikan adanya ‘perbedaan situasi’ yang perawi
alami ketika menerima hadis.
4. Sistematika Penulisan Kitab Sohih
Muslim
Kitab hadis karya Imam Muslim diberi nama al-Musnad
al-Shahih al-Mukhtasar min al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah
saw, namun lebih dikenal dengan Jami al-Sahih atau Sahih Muslim[12].
Sistematika yang digunakan Imam Muslim tergolong sangat baik, ini dapat
dilihat dari cara beliau mengklasifikasikan hadis-hadis kedalam tema beasr
dalam beberapa bagian yang secara khusus membincang persoalan tertentu. Kitab
hadis ini—menurut hemat penulis—sepintas memberikan nuansa fiqh, diawali dengan
muqaddimah, kemudian pada bagian pertama (Imam Muslim menyebutnya
‘kitab’) beliau membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan
kurang lebih 280 hadis, disusul dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh
(34 bab dan 111 hadis), hâid, shalat dan lain sebagainya, untuk lebih
lengkapnya berikut tabel dari sistematika penulisan kitab Sohih Muslim[13].
No
|
Nama
Kitab
|
Jumlah
|
|
Bab
|
Hadis
|
||
.
|
Muqaddimah
|
74
|
-
|
1
|
Iman
|
96
|
280
|
2
|
Taharah
|
34
|
111
|
3
|
Haid
|
33
|
126
|
4
|
Shalat
|
52
|
285
|
5
|
Masajid wa Mawadi’ al-Shalat
|
56
|
316
|
6
|
Shalat al-Musafirin wa al-Qasriha
|
56
|
312
|
7
|
Al-Jum’ah
|
19
|
73
|
8
|
Al-Aidain
|
5
|
22
|
9
|
Al-istisqa’
|
5
|
17
|
10
|
Al-Kusufh
|
5
|
29
|
11
|
Al-Janaiz
|
37
|
108
|
12
|
Al-Zakat
|
56
|
177
|
13
|
As-Siyam
|
40
|
222
|
14
|
Al-I’tikaf
|
4
|
10
|
15
|
Al-Hajj
|
97
|
522
|
16
|
An-Nikah
|
24
|
110
|
17
|
Ar-Rada’
|
19
|
32
|
18
|
At-Talaq
|
9
|
134
|
19
|
Al-Li’an
|
1
|
20
|
20
|
Al-Atq
|
7
|
26
|
21
|
Al-Buyu’
|
21
|
123
|
22
|
Al-Masaqah
|
31
|
143
|
23
|
Al-Faraid
|
5
|
21
|
24
|
Al-Hibah
|
4
|
32
|
25
|
Al-Wasiyah
|
6
|
22
|
26
|
An-Nadzar
|
5
|
13
|
27
|
Al-Aiman
|
13
|
59
|
28
|
Al-Qasamah Wa al-Maharibin Wa
al-Qishas Wa al-Diyat
|
11
|
29
|
29
|
Al-Hudud
|
11
|
46
|
30
|
Al-Aqdiyat
|
11
|
21
|
31
|
Al-Luqathah
|
6
|
19
|
32
|
Al-Jihad
|
51
|
150
|
33
|
Al-Imarah
|
56
|
185
|
34
|
Asha’id wa al-Dzhabaih wa ma
yu’kilu hayawan
|
12
|
60
|
35
|
Al-Adaha
|
8
|
45
|
36
|
Al-Asyribah
|
35
|
188
|
37
|
Al-Libas
|
35
|
127
|
38
|
Al-Adab
|
10
|
45
|
39
|
As-Salam
|
41
|
155
|
40
|
Al-fadhz
|
5
|
21
|
41
|
Al-Syiir
|
2
|
10
|
42
|
Ar-Ruyah
|
5
|
23
|
43
|
Al-Fadail
|
36
|
174
|
44
|
Fadail as-Sahabah
|
60
|
232
|
45
|
Al-Birr wa al-Shilah wa al-Adab
|
51
|
166
|
46
|
Al-Qadar
|
8
|
34
|
47
|
Al-Ilmu
|
6
|
16
|
48
|
Ad-dzkr wa Du’a wa taubah wa
Istigfar
|
27
|
101
|
49
|
At-Taubah
|
11
|
60
|
50
|
Shifat al-Munafiqin
|
1
|
83
|
51
|
Al-Jannah wa Shifat Nafsiha wa
Ahliha
|
40
|
84
|
52
|
Al-Fitan wa syarait as Sa’ah
|
28
|
143
|
53
|
Al-Zuhud wa ar Rafaiq
|
20
|
75
|
54
|
At-Tafsir
|
8
|
34
|
5. Pendapat Para Tokoh Tentang Kitab Sohih
Muslim
Menurut beberapa tokoh ahli hadis, menyatakan bahwa kitab Sohih
Muslim ini memiliki berbagai macam keunggulan, sedikitnya ada enam poin
yang bisa dijadikan argumentasi: (1) dari segi susunan isinya tergolong tertib
dan sangat sistematis, (2) pemilihan redaksi matan hadisnya sangat teliti dan
cermat, (3) proses seleksi dan akumulasi matannya sangat teliti, sehingga tidak
terjadi tercampurnya satu matan hadis dengan matan hadis yang lain, (4)
penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke dalam tema atau tempat tertentu,
sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan atau penyebutan Hadis, (5) kitab
Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari Hadis dan mengistimbatkan suatu
hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis sesuai dengan suatu
masalah, (6) kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam satu tema bab,
sehingga memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik yang ada.
Namun dari kelebihan yang dimiliki, kitab hadis ini pun
tidak sepi dari kritik yang membangun. Sebutsaja kritik yang dilontarkan oleh sebagian
besar ulama ahli hadis yang menempatkan kitab hadis Imam Muslim pada
urutan kedua setelah kitab hadis karya Imam Bukhari, hal ini terjadi
dikarenakan terlalu longgarnya syarat yang diterapkan oleh imam Muslim
dalam menentukan hadis sohih. Dalam kasus penentuan kesahihan hadis, imam
Bukhori mensyaratkan harus bertemu (liqâ) antara murid dan guru,
sedangkan imam Muslim cenderung ‘mengabaikan’ liqâ sebagai
standarisasi hadis sohihnya, tetapi dicukupkan dengan sezaman (mu’asyârah)
antara murid dan gurunya[14].
Syaikh Ibnu Shalah mengatakan, dalam kitab Sahih Muslim pada
babu shifati Rasulillah Saw, Imam Muslim mengatakan: “tidak
setiap hadis yang menurutku berkualitas sahih aku letakkan dalam kitab ini,
karena hadis yang aku letakkan dalam kitab ini hanya hadis-hadis yang
kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Syaikh Ibnu Shalah membuat
orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat hadis yang
kesahihannya diperseisihkan dalam kitab hadis Imam Muslim[15]
Kesimpulan
Dari sekian banyak kitab kanon hadis, para ulama ahli hadis
memberikan penilaian bahwa kitab karya Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardabaza Al Bukhari atau yang lebih dikenal dengan Imam Bukhari, menempati
urutan pertama dalam validitas dan otentifikasi hadis yang termuat didalamnya.
Hal ini terjadi lebih dikarenakan ‘filterisasi’ Imam Bukhari terhadap
hadis-hadis yang dimasukkan kedalam kitab Sahih-nya harus melewati serangkaian
seleksi yang sangat ketat baik dari segi matan dan juga sanadnya. Sedangkan
kitab hadis karya Imam
Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin Wardi bin Kausyaz al Qusyairi an-Naisaburi: Imam Muslim menempati
urutan kedua setelah kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini terjadi karena
standarisasi hadis sohih yang dilakukan oleh ImamMuslim tidak ‘se-ketat’
Imam Bukhari.
Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin bin
Wardi bin Kausyaz al Qusyairi
an-Naisaburi memulai
‘rihlah ilmiyah-nya’ pada usia 15 tahun, beliau singgah dari kota ke kota dan beberapa Negara untuk
‘menggali’ ilmu pengetahuan, diantara kota dan negara yang pernah disinggahinya
untuk mencari ilmu adalah, Mesir, Irak, Khurasan, Kuffah, Ra’y dan lain-lain.
Dari sekian banyak guru yang beliau serap ilmunya, beliau memutuskan untuk
membuat sebuah kumpulan hadis sohih yang kemudian dibukukan.
Kitab yang bernama al-Musnad al-Shahih al-Mukhtasar min
al-Sunnah bi al-Naql al-Adal ‘an al’Adl ‘an Rasulullah saw atau yang biasa
dikenal dengan Sohih Muslim lahir pada kurun Khalifah Mutawakkil
berkuasa, Khalifah ke empat dinasti Abasiyah, ditengah kondisi masyarakat
‘terbius’ budaya rasionalis yang dibangun oleh kepemimpinan tiga Khalifah sebelum
Mutawakkil. Masyarakat dibawah kepemimpinan dinasti Abasiyah pada awal abad ke
tiga ‘hampir lupa’ dengan hadis, ini terjadi karena hegemoni kaum rasionalis
serta banyak beredarnya hadis palsu yang dipakai oleh beberapa kelompok untuk
memuluskan kepentingan kelompok mereka. Selain menorehkan ‘tinta emas’ lewat
kitab Sohih Muslim, Imam Muslim juga mengarang beberapa kitab lain, sebut saja Awlad
al-Sahabah, Intifa bi Uhud (julud) al-Siba’, Al-Aqran, Su’alatihi
Ahmad bin Hanbal, Al-Afrad wa al Wihdan, Masyaikh al-Sauri, Masyaikh
Syu’bah, Masyaikh Malik, Al-Thabaqat, Afrad al-Syamiyin,
Al-Wuhdan, Al-Sahih al-Musnad, Hadis ‘Amr bin Syuaib, Rijal ‘Urwah, Al-Tarikh
dan lain-lain.
Metodologi
yang dipakai Imam Muslim dalam sohih Muslim nya terringkaskan dalam dua poin
berikut (1) hanya meriwayatkan Hadis dari para periwayat yang adil, dhabit
(kuat dalam hal hafalan) dan dapat dipertanggungjawabkan kejujurannya, serta amanah.
(2) hanya meriwayatkan hadis-hadis yang lengkap sanadnya, muttasil
(bersambung sanadnya), dan marfu’ (disandarkan pada Nabi saw.). selain
itu metode penulisan kitab ini pun tergolong rapih, hal ini bisa dilihat dari
penyampaian Imam Muslim dalam menyampaikan beberapa hadis yang mempunyai tema
yang sama dari beberapa redaksi dan sanad dengan cara menggabungkannya menjadi
satu (satu redaksi hadis dari beberapa sanad). Penggunaan ‘cetak tebal’ pada
cara periwayatan hadis semisal haddatsana (حدثنا), Akhbarâna (اخبرنا) dan haddatsani
(حدثنى),
hal ini mengindikasikan bahwa adanya ‘perbedaan situasi’ yang dihadapi oleh
perawi ketika mendapatkan hadis.
Sistematika
yang digunakan dalam penulisan kitab ini pun tergolong sangat rapih. Imam
Muslim membuat tema besar dari berbagai macam bagian yang didalamnya memuat
beberapa bab, hal ini memungkinkan para pencari hadis akan dengan mudah
mendapatkan hadis yang dicari. Diawali dengan muqaddimah, kemudian pada
bagian pertama (Imam Muslim menyebutnya ‘kitab’) beliau
membincang persoalan tentang iman dengan 96 bab dan kurang lebih 280 hadis,
disusul dengan bagian kedua yang menerangkan tâharâh (34 bab dan 111 hadis),
hâid, shalat dan seterusnya.
Berkenaan
dengan pendapat para ulama tentang kitab hadis karya Imam Muslim, mayoritas
ulama ‘menganggap’ kitab ini mempunyai beberapa kelebihan, misalnya dari segi
susunan isinya tergolong tertib dan sangat sistematis, kemudian pemilihan
redaksi matan hadisnya sangat teliti dan cermat, proses seleksi dan akumulasi
matannya sangat teliti, sehingga tidak terjadi tercampurnya satu matan hadis
dengan matan hadis yang lain, penempatan dan pengelompokan hadis-hadis ke dalam
tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan atau
penyebutan Hadis, kitab Sahih Muslim sangat membantu untuk mencari Hadis dan
mengistimbatkan suatu hukum, sebab Imam Muslim meletakkan hadis-hadis
sesuai dengan suatu masalah, kitab ini menyampaikan hadis-hadis tertentu dalam
satu tema bab, sehingga memudahkan para pencari ‘dalil-hadis’ dengan kasuistik
yang ada. Disamping pujian atas karya Imam Muslim ada pula yang
mengkritisi karya beliau, seperti yang diungkapkan oleh sebagian besar ulama
dan muhadditsin yang mengkritisi ‘standarisasi’ terhadap hadis sohih yang
dilakukan oleh Imam Muslim tergolong ‘longgar’ dibandingkan dengan Imam
Bukhari. Kritik diatas seakan ‘dipertegas’ oleh Ibnu as Sholah, beliau
mengatakan bahwa dalam kitab Sahih Muslim pada babu shifati Rasulillah Saw,
Imam Muslim mengatakan: “tidak setiap hadis yang menurutku berkualitas
sahih aku letakkan dalam kitab ini, karena hadis yang aku letakkan dalam kitab
ini hanya hadis-hadis yang kesahihannya telah disepakati”. Hal ini menurut Ibnu
as Shalah membuat orang lain kebingungan, karena pada kenyataannya terdapat
hadis yang kesahihannya diperseisihkan dalam kitab hadis Imam Muslim, disamping
banyak ‘kritik’ lain yang disampaikan oleh para ulama dan muhadditsin.
Setidaknya hal diatas yang mengakibatkan kitab hadis karya Imam Muslim menjadi
ter-‘nomor dua’-kan sebagai kitab hadis rujukan setelah al Qur’an. Walaupun
sebagian besar ulama dan muhadditsin menempatkan kitab Sohih Muslim
pada urutan kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab
hadis Imam Bukhari, namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al
Hafidz Syaikhul Hakim Abi ‘Abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko
sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan pertama
diatas kitab hadis Imam Bukhari. Hal ini setidaknya ditandaskan kepada
‘kejeniusan’ Imam Muslim dalam men-sistematis-kan hadis-hadis dalam kitab
karangannya sehingga dapat dengan mudah diakses oleh para ‘pencari hadis’
disamping jarangnya pengulangan penyebutan hadis seperti yang banyak ditemukan
pada kitab hadis Sohih Bukhari.
Terlepas dari sanjungan dan kritikan yang disampaikan para
muhadditsin dan ulama, dalam pandangan pemakalah, kitab Sahih Muslim adalah
salah satu karya agung yang patut diapresiasi se tinggi-tingginya. Bagaimana
tidak, dizaman yang belum mengenal komputer, transportasi yang sederhana, alat
baca-tulis yang belum secanggih saat ini, Imam Muslim mampu menghadirkan sebuah
kitab hadis yang setidaknya terskema dengan baik, banyak mengandung sejarah,
keilmuan, dan akidah umat muslim berkenaan ‘berita’ dari nabi Muhammad Saw.
Wallahu A’alam bi as Shawab
[1] Dr.
Phil. Kamaruddin M.A, Metode Kritik Hadis (Jakarta, Penerbit Hikmah
2009) hlm 1
[2] Dr.
M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta, LKis 2007)
hlm 10-13
[3]
Lihat. Ibid hlm 11
[4]
Menurut Ibn Khalkan, tidak seorangpun mengetahui secara pasti tentang
tahun kelahiran Imam Muslim, tetapi kebanyakan dari ulama berpendapat
bahwa imam Muslim dilahirkan setelah tahun 200 H. Imam Taqi ad Din
abu ‘Amr Utsman atau yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnu Solah
mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 202 H, Ad Dzihabi
mengatakan 204 H adalah tahun dilahirkannya Imam Muslim, Ibn Katsir
berpendapat bahwa Imam Muslim dilahirkan bertepatan dengan tahun
wafatnya Imam As Syafi’i, yakni pada tahun 204 H. Lihat syekh Khalil
Ma’mun dalam muqaddimah; al Minhaj syarh Sohih Muslim karya Imam
Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah 1999) vol 1 hlm 70-71
[5]
Ibid hal 70
[6]
Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, (Surabaya: Al Muna,
2010), hlm 107.
[7] Dosen Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003)
hlm 60.
[8]
. Dinukil dari perkataan Ibn Katsir. Lihat
Syekh Khalil Ma’mun dalam Muqaddimah: al Minhaj syarh Sohih
Muslim karya Imam Muhyi ad Din an Nawawi (Beirut, Dar el-Marefah
1999) hlm 98
[9]
Pada
permulaan abad ketiga hijriyah, Daulah Abasiyah dipimpin oleh Khalifah al
Ma’mun (w. 218 H) kemudian
dilanjutkan oleh Khalifah al-Mu’tashim (w. 227 H) dan al-Wasiq (w. 232 H). ketiga khalifah
kurun pertama daulah Abasiyah ini mempunyai karakter kepemimpinan ra’yu
sebagai ‘ideologi’ pemerintahan, dengan kata lain, ketiga khalifah ini seakan
‘menutup’ ruang gerak para penggiat hadis untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan
yang berbasic hadis. Lihat Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, Studi
Kitab Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2003) hlm 63-64
[10]
Ibid hal 63
[11]
Contoh dapat dilihat pada lampiran
[12]
Opcit hal 65
[13]
Ibid hal 68-69
[14]
Ibid hlm 74-75. Walaupun sebagian besar menempatkan kitab Sohih Muslim
pada urutan kedua dari segi ‘kesahihan’ hadisnya dibandingkan dengan kitab
hadis Imam Bukhari, namun ‘Abu ‘Ali al Hasan bin ‘Ali an Naisaburi al
Hafidz Syaikhul HakimAbi ‘abdillah bin ar Rabi’ dan beberapa ulama Maroko
sepakat bahwa kitab hadis Imam Muslim tetap berada pada urutan pertama
diatas kitab hadis Imam Bukhari. Lihat Imam Nawawi, Terjemah Sahih
Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim 2002) hlm 53-54
[15]
Imam
Nawawi, Terjemah Sahih Muslim bi Syarhin-Nawawi (Jakarta, Mustaqiim
2002) hlm 56-57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar